TEGUH PRAMONO GURU PEMBELAJAR


Sabtu, 27 Februari 2010

CERPENKU

BERDIRINYA MONUMEN DI SUATU REPUBLIK
Oleh Teguh Pramono

“Mestikah sebuah buah cinta kasih seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah seorang bocah yang keluar dari rahimmu? Selama kau menjawab ‘pasti dan harus’, maka berarti cintamu, bukanlah cinta yang suci, yang tumbuh dan bekembang dari hati nurani terdalam, tetapi cintamu padaku hanyalah cinta palsu, cinta yang kau berikan adalah cinta yang berbeban karena kau akan malu dituding orang sebagai perempuan yang mandul. Kita akan kesepian, memang. Tetapi apakah cintamu akan luntur lantaran dalam rumah ini tak ada seorang bayi yang dapat kau gendong, kau timang? Seharusnya kau tidak begitu istriku kalau kau memang cinta padaku. Dan, kalau memang cintamu itu cinta yang suci.”
“Mas, rumah kita akan gersang tanpa seorang bayi yang akan meneruskan dan melestarikan nama indah kita berdua. Yang akan menulskan nama kita pada jahgad ini setelah kita tiada.”
“Betul kau! Tetapi tidakkah kita bisa mengadopsi atau membeli anak dari luar negeri yang saat ini sedang murah-murahnya.”
Istrinya tidak menjawab. Istrinya Cuma termenung karena kalau mengadopsi atau membeli anak itu berarti merendahkan martabat manusia sejajar dengan barang konsumsi yang lain. Sebuah pikiran gila. Gila nama karena nama yang disandang anak itu nama pembelian orang tuanya saja. Dan hanyalah nama yang maya, tak punya eksistensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Istriku! Bagaimana? Jangan diam saja! Kalau kita sepakat dan mengakui bahwa cinta kita suci pastilah hal ini bukanlah hanlangan bagi kita untuk mangubur cinta kita secara bersama-sama dan membawa ke hadapan-Nya nanti. Kita dapat berkata kepada Tuhan nanti bahwa kita hidup rukun di dunia ini.”
“Mas, ternyata kau laki-laki yang gila nama,” kata istrinya.
“Apa? Gila nama? Apa maksudmu?”
“Kamu berlagak bodh! Bukankah hal itu berarti kau telah menginjak kepalaku dengan kakimu yang penuh tahi?” kata istrinya agak jengkel.
“Istriku, aku benar-benar tak mengerti arah pembicaraanmu! Bukankah tadi kau mengatakan bahwa kita butuh masa depan yang bahagia. Ada yang merawat. Apakah kau tak menyadari bahwa aku tidak mampu membuahi kamu, menganugerahi anak kepada bumi. Dan itu adalah baik karena belum tentu kita mampu mengurus anak dengan baik. Biaya anak itu mahal apakah tak kau mengerti! Kita wajib mendidik, menyekolahkan, membelikan baju, memngisi hatinya dengan nilai-nilai moral, menjaga agar tetap sehat dan tumbuh menjadi makhluk yang berguna.”
“Mas, ternyata kau secara tidak langsung meremehkan dan mengganggap tetangga-tetangga kita ini, lingkungan kita ini tidak memberikan peluang hidupnya seorang anak ke araha yang lebih baik. Artinya kau telah menganggap semua jelek.”
“Bukan begitu yang kuharap dengan tindakan kita ini. Tetapi, demi membantu anak itu juga, demi masa depannya juga. Coba lihat kehidupan di luar sana! Penuh dengan kekerasan, anarkhi, kebiadapan, dan tindakan-tindakan yang tidak memungkinkan seorang bayi akan terlepas dari pengaruh jeleknya.”
“Heh! Ternyata kau juga berniat tidak suci pada anak yang akan kau ambil atau beli. Bukankah anak itu juga akan meneruskan jiwa orang tuanya. Dia juga ingin hidup bebas seperti kita saat ini. Saat yang paling tak aa ikatan. Kau berbuat semampumu dan sekuat tenagamu. Aku pun berbuat sekeras-kerasnya, sepuas-puasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu, karena…karena… sesungguhnya gerakan inilah yang lebih bebas kita lakukan daripada gerakan pikiran kita,” kata istrinya sambil mengekspreikan puncak kenikmatan percumbuan.
“Tidak! Aku membeli atau mengambil anak itu karena aku ingin menolong .“
“Mas, kau bohong pada hati kecilmu! Juga pada istrimu. Ternyata apa yang kau katakan penuh dengan kontradiksi dengan apa yang sebenarnya dan seharusnya kau katakan. Bukankah kau telah membeani anak itu agar nanti mau merawat kita di kala kita telah jompo atau renta tak berdaya? Kau mengukur diri anak itu dengan takaran kebudayaan dan kebiasaanmu. Kau tidak berpikir tentang kemampuan dan latar anak yang akan kau ambil atau beli itu. Kau akan melakukan perkosan, Mas! Jangan lakukan itu semua. Jangan, Mas! Jangan!’” jerit ringkik kuda istrinya di saat terhentak menahan hempasan puncak nafsu birahi.
“ Pantas saja ini kulakukan karena dia kutolong. Dan, ini kurasa wajar,” kata suaminya sambil membenahi sarung pembalut nafsu lelakinya yang terakhir.
“Lho, kok begitu?” kata istrinya.
“Jelas, to! Kalau kita mengeluarkan banyak, yang masuk juga harus banyak. Imbang, kan. Buktinya yang baru saja kita lakukan ini. Tenaga kita banyak terkuras, tetapi impas dengan kenikmatan yang di raih tidak dapat diganti dengan hal lain.”
“Kalau begitu, ana yang kau katakan, kau gembar-gemborkan dengan niat ikhlas dan suci? Mana, Mas?. Betulkan? Kau telah berbohong dengan hati kecilmu sendiri. Ternyata pertolongan Cuma kata-kata yang keluar darimulutmu yang sebenarnya bukanlah kebenaran yang ada di hatimu. Kau sama saja dengan ibu tiriku dulu. Dia merampas kebebasanku. Dia telah menjual aku ke hadapan laki-laki yang konon selalu diberi sebutan agung dengan kata ‘SUAMI’ itu.”
“tutup mulutmu! Kau menghina aku. Kau telah menyinggung peraaanku. Bukankah hidup ini wajib tolong-menolong? Kan, sudah selayaknya kalau anak itu naanti kutolong dan ia menolongku’” bentak suaminya.
“Mas, mana bisa di menolongmu dari dosa-dosa yang telah kau perbuat? Dia bukan pribumi. Dia bukan anak kandung. Dia kan anak dari luar negeri mana mau mengangkat diri kita sementara di negerinya sendiri masih banyak yang harus dikerjakan, termasuk mendoakan orang tua kandungnya sendiri dan membebaskan diri dari lingkunganan jahatnya. Dan, apa yang kita bicarakan ini kan Cuma masih rencana. Belum nyata adanya. Kenapa kamu kok ngomong dengan urat leher sekasar itu.”
“Rencana adalah program yang harus dilaksanakan. Rencana adalah konsep. Dan konsep itu berada di otak. Kalau kau tidak menerima akan pendapatku tentu saja aku akan mempertahankan dengan argumen-argumen yang mendukung.”
Yah, sudahlah semua itu tak usah diperpanjang. Toh, kenyataannya, kita hanyalah bisa menerima saja ketentuan dari Tuhan.”
“Apa? Tuhan? Sejak kapan kau telah mengenal Tuhan? Kamu tak usah berkelit dengan membawa nama Tuhan. Apakah kau lupa dengan nama suami dan nama istri yang kita sandang sekarang ini. Kau adalah istri-istrian dan aku suami-suamian. Namun, itu semua tak kan dihiraukan orang dan tak juga akan diketahui orang. Penulis cerita ini pun tidak akan tahu tentang kita dan hidup kita ini.”
“Mas, ternyata uniamu sekarang telah jauh dengan duniaku. Berapa tahun kau hidup? “
“Kira-kira telah tiga puluh tiga tahun sejak lahir.”
“Sudah lama juga. Tapi, kenapa kau tak berkembang? Mlah mengalami kemuduran mental.”
Apa katamu? Mentalku mundur? Lancang benar kau sekarang! Dengan terus terang telah berani berkata kasar! Apakah kau tak menyadari bahwa ini semua kita lakukan atas dasar cinta. Kau suka dan aku suka. Dan karena rasa itulah kemudian kita saling menyetujui istilah suami dan istri ini. Apa kau lupa?”
“Aku sama sekali tidak lupa. Aku masih ingat dan masih bening semuanya itu di hati ini. Namun, sekarang semua sudah beda. Waktu telah mengubah semuanya. Pikiranku pun berubah. Untuk itu bisa saja aku akan mengelak segala jani-janji palsu. Janji yang tidak dikuatkan oleh bukti hitam di ata putih. Janjimu palsu! Kau mengguna-gunai aku dan main sekongkol transaksi keperawanan dengan ibu tiriku. Kau penjahat! Pembohong! Kau setan! Aku akan kembali kejalanku! Ke jalan yang telah kau telikungkan ke arah ketidakpastian. “
“Palaagh! Plagh! Bug! Bug ! Plaaar!”
Suaminya tiba-tiba mengamuk tak terkendali menghajar istrinya. Darah segar membasah, mengalir di lantai, yang entah sejak kapan lantai itu menjadi saksi bisu diskusi cinta mereka berdua.
Diam kaku beberapa saat. Tegang mencekam mengurung. Letupan-letupan amarah menghempas-hempas kegersangan nurani. Mata suami itu terbelalak seketika menydari apa yang terjadi. Tak percaya dengan malam yang terkutuk meremas-remasnya. Istrinya dipeluknya. Mencoba mengangkatnya. Namun tidak jadi karena darah semakin menggenang menutup pori-pori lantai.
Malam semakin melarut dengan sunyi. Deru kipas angin masih terus bergemuruh. Suaminya nampak memutar pikirannya. Matanya nyalang ke sana ke mari. Beberapa saat kemudian mendekati kipas angin. Cepat-cepat kipas angin diambil dan didekatkan kepada istrinya. Kedua tangan istrinya digerak-gerakkan ke ata dan ke bawah. Rupanya suaminya memcoba memberikan pernafasan buatan. Namun, usahanya itu tidak memberikan hasil karena istrinya tidak bereaksi sama sekali. Suaminya mulai dihinggapi keresahan. Sebentar berjalan menjauhi istrinya, sebentar berikutnya mendekati, memeluk, membelai, menanyai, menciumi. Hal demikian dilakukan berulang-ulang seperti tidak jelas arah dan tujuannya.
Jam dinding berdentang dua kali. Malam melarut sunyi. Sesunyi deru kipas angin yang berputar sendirian. Tiba-tiba suaminya melonjak tinggi-tingi. Mulutnya nampak berkomat-kamit. Matanya sering kali melotot bila secara kebetulan hinggap pada sesuatu benda yang entah tidak jelas apa yang dipiirkan. Dan, kali ini juga begitu. Menatap tajam ke sebuah bentangan dinding kamar.
“Bangsat! Kurang ajar!” Suaminya mengumpat entah kepada siapa. Nafasnya nampak tersengal-sengal. Gerahamnya bergeretak-geretak menggigit giginya sendiri. Kemudian tatapan matanya itu berpindah ke istrinya yang diam beku di lantai. Entah berapa lama mata itu terpancang kepada tubuh istrinya.
Jam setenga dua malam. Diding kamar remang kelabu melarut sepi. Sesepi kipas angin yang menderu sendiri. Entah mulai kapan, tatapan mata suaminya sudah mulai meredup. Kecemasan berputar-putar menggelayut suaminya. Suaminya mletakkan tangannya di kening istrinya. Tangan itu meraba-raba hidung istrinya. Telinganya ditempelkan pula ke hidung istrinya.
“Tidak! Tidak! Aku harus bertanya tentang makna tolong-menolong ini kepada orang yang lebih paham. Aku tidak mau istriku kecewa karena konsepnya aku tolak begitu saja tanpa komparasi opini. Tidak! Tidak! Aku tidak berdosa!” kata suaminya sampai entah berapa kali. Yang jelas dentinagn jarum jam masih terus terdengar ketka suaminya teridur pulas di atas ranjang.
Jam dua kurang spuluh menit, suaminya bngun. Dia melangkah mendekati meja. Diambilnya kertas dan ball poin. Ia menuliskan sesuatu di kertas itu. Tulisannya sperti tertera di baah ini.

Untuk kau, yang menempuh pejalanan diam sepanjang waktu

Aku mencintai kamu
Di saat butir-butir embun memeluk daun pagi
Saat baskara beranjak dilela angin dari nyenyaknya
Dan di saat burung-burung bercanda dengan senja lucu
Dari lugumu
Terpaut cinta di dada

Aku mencintaimu
Cinta mawar pagi berembun
Cinta sedap malam
Cinta kemboja putih dini hari
Istriku, aku masih sayang kamu walaupun aku tak bisa memberimu seorang bayi dan aku telah berbuat dosa bersamamu. Berdosa pada dunia serta berdosa pada alam. Dan, pada akhir pertemuan kita malam ini, aku mohon maaf atas semuan dosa yang telah kuperbuat. Marilah kita lebur dan hanyutkan istilah suami dan istri yang telah kita rajut ini ke dalam aliran arus malam agar dosa kita tak berlanjut sampai ajalmu dan ajalku.

Dari aku, yang menunggu arus malam

Kertas itu dilipat tiga mamnjang dan diletakkan menyilang di tas kening istinya. Suaminya bersimpuh di sisi istrinya. Suara tangisnya menderu diantara pusaran kipas angin hingga rapat-rapat menenuhi ruangan. Suaminya dilanda kecengengan. Wajahnya layu. Wajahnya kuyup oleh air mata. Dan malam semakin pekat melarut sunyi.
Jam dua kurang tiga menit. Suaminya berjalan tak tentu arah. Semua sudut ruang yang semakin sempit menghimpit dijelajahi. Seluruh sisi ruang juga telah lumat dipandangin. Pada suatu kesempatan, tangan sebelah kanannya mengepal kencang dan dibentur-benturkan pada telapak tangan kirinya.
“Kriiing! Kriing! “ jam berdenting dua kali. Suaminya melompat terkejut. Matanya dengan tajam menghujam ke jam dinding itu. Kemarahannya meledak. Jam dinding dihempaskan dengan umpatan kasar. Dia berteriak-teriak, berlari-lari berupaya membuka kamar yang terasa semakin menghimpit. Namun, rupanya kamar tidak memberi kemungkinan unutk keluar. Semua jendela dan pintu terkunci rapat.
Malam masih merajut sepi. Suaminya terkunci dalam kepengapan kamar seipi amis darah istrinya. Sambil terus berteriak semua barang yang ada dalam kamar itu dibantingi dan dihempaskan penuh dengan keencian. Entah apa yang dibenci.
“Tolong…! Tolong! Tolonglah aku! Aku tidak mau dibelenggu seperti ini. Aku ingin berlari! Aku tak kuat dengan penyiksaan seperti ini! Tolonglah! Bukalah pintu ini!”
Teriakan itu begitu kuat dan kerasnya sehingga orang-orang pada terbangun. Ruangan itu kini menjadi pusat perhatian massa. Orang-orang mengira ada ada perampokan atau pembunuhan. Kontan semua orang siap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang membawa senter, obor, ada yang membawa parang, pentung dll. Setiap teriakan terdengar kerumunan orang bagai digerakkan oleh tenaga gaib, secara serentak merangsek ke arah kamar. Tetapi kamar tetaplah kamar yang terkunci rapat.
Malam melahirkan kebekuan. Deru kipas angin masih berbutar pada porosnya membentuk gerai-gerai gelombang ketegangan. Orang-orang masih ribut dengan gagasannya masing-masing. Tiba-tiba teriakan terdengar lagi setelah beberapa waktu vakum. Suaminya kehilangan kunci untuk membuka kamarnya. Dua orang yang paling gemuk mencoba mendobrak pintu. Suaranya menggelegar bagai tebakan.
“He, ayo bantu aku! Jangan bengong semua!” teriak salah seorang yang mendobrak pintu.
“He, ayo cepat kita tolong orang ini! Bukankah kita hidup ini wajib tolong-menolong,” teriakan salah seorang yang juga ikut membuka pintu dan jendela.
Dengan iming-iming pahala akhirnya semua orang sangat antuis memberikan upaya-upaya pertolongan. Bahkan, mereka saling berebut. Tak dapat dielakkan lagi daerah sekeliling ruang di mana suaminya terbelenggu itu berdesak-desak, ingin memberikan dermanya dengan pahala. Akhirnya, secara perlahan tapi pasti sekitar ruangan itu menjadilah arena perebutkan. Bagai gerombolan ayam kelaparan mereka saling sikut, saling dorong, saling, tonjok, saling menginjak, saling meniindih, tidak memperdulikan kawan-kawannya. Tanpa disadari keributan meningkat menjadi perkelaian masal. Amat mengerikan. Yang satu memukul yang yalin. Yang lain membacok yang lainnya lagi dan seterusnya.Korban pun berjatuhan. Darah muncrat ke segala arah. Tak ada pahlawan lagi. Semua jadi pengkhianat. Atau semua ingin jadi pahlawan dengan mengkhianati kawannya sendiri.
Malam merajut pekat dengan sepi. Gelombang merapat dengan dining-dinding ruang. Warna suram membentang ke segala pandangan. Suaminya semakin tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak bisa mengintip apa yang di luar. Hanya bisa mendengar kerinutan. Keribautan apa tak tahu. Kenapa ribut, untuk apa ribut tak dapat dipahami lagi asal-usulnya. Di balik kamar jerit dan tangis justru lebih keras mengalahkan segala kekalutan yang dirasa suaminya. Masih adakah harapan menemukan lubang untuk sekedar melihat sinar di luar ruang. Tak ada yang bisa menjawab! Yang nampak hanyalah gelap dan bau amis darah. Pada suatu kesempatan ia mencoba berteriak. Namun, teriakan itu tetap tiggal terikan. Dan pintu ruangan tidak pernah terbuka. Sampai cerita ini usai ia maih berteriak minta tolong.
Deru kipas angin menerpa serpihan malam. Pagi mulai membidik pucuk gunung di ufuk timur. Suara kehidupan alam sesekali membuka pelana kematian. Dan akhirnya sinar pagi menyala. Semua jelas terlihat. Tumpukan mayat-mayat telah menjadi patung peringatan. Monumen Pergerakan Kemerdekaan Republik Para Pengkhianan dan Pengumbar Nafsu.
DI BALIK KETIADAAN

Semakin bersatu dengan hijau,
Semakin tak hijau
Semakin bersatu dengan putih,
Semakin tak putih,
Semakin terkuak pelangi
Semakin tak pelangi
Sungguh tak terkata sampai kapan kalimah-Mu

Di dalam hutan ada pesan:
Carilah hutan karena masih ada hutan
Ketika langkah sudah sampai puncak
Ternyata masih terlihat puncak
Ketika terlihat bulan terakhir, ternyata masih ada yang lebih terakhir

Sungguh tiada tepi lembaran surah-Mu
Dan kita terlalu boros kesombongan

Masih ada dari ketiadaan
Masih tak ada batas dari balik batas
Masih ada pelangi di dalam pelangi
Karena dalam diam tak diam

Desember 1996
SEKOLAH CACAT

Gunung Arjuna berjongko di atas genting sekolah SLB
Sementara, aku berdiri di samping ketinggian tiang listrik
Anak-anak cacat berlarian girang di kawat-kawat langit
Sementara itu ibu-ibunya bersorak-sorak memandangi dengan kuwatir
Dari lapangan rumput
“ Layang-layangku terbang. Layang-layangku terbang!”
Begitu ramai berkumandang
Dan desir lirih angin menuntun bocah kering mata juling, bibir sumbing telinga tuli
Mengendap-endap dari balik jendela asrama:
“Kau kok di sini! Ini tidak boleh! Melanggar peraturan!”
Suara entah dari mana
Bocah kering terdiam
Kemudian tertawa cekikikan, sambil mengucap:
“Pendidikan cacat, sekolah cacat, aku jadi cacat.”
Dan bocah kering mata juling menghambur ke pangkuan ibunya.

Lawang, 21 Juni 2003

TENTANG PUISI

TIRANI DAN BENTENG SUATU POTRET KENYATAAN SEJARAH (SEBUAH TINJAUAN SUBYEKTIF PUISI TAUFIK ISMAIL)
Oleh : Teguh Pramono

Terus ada dalam kata, semua dalam kata
Tersimpan kenyataan ragam segala:
Kerasnya kemarau di Bukit Biru, Bukit Kelu,
Dengus nyawa seorang adik oleh senapan kakak sendiri,
Berjuta rakyat dengan tangan tengadah ke langit,
Brutalnya politik, revolusi, dan penyelewengan negara,
Bara dan beku perjalanan sejarah 64-66 yang pengap,
Sampai jenderal dan demonstran jadi tumbal,
Terus ada dalam kata
Semua dalam kata
Abadi adanya dalam kata

Kata merupakan media untuk menyatakan kenyataan pikiran, perasaan, dan kehendak. Hanya dengan kata-kata kenyataan yang tersirat dalam benak dapat dipahami dengan jelas. Sebagai media, kata sangat lentuk dalam beradaptasi dengan penggunanya. Ia dapat dieksplorasi-kreatif menjadi apa saja. Menjadi tirani, benteng, bentangan kenyataan, atau rangkaian imajinasi sekalipun. Salah satu wujud eksplorasi-kreatif kata dapat kita temui dalam bentuk-bentuk sastra, diantaranya berupa puisi.

Satu Puisi = Satu Kenyataan
Puisi bukanlah sekedar hasil imajinasi, angan-angan yang tiada arti. Berdasarkan pengalamannya sebagai pengarang, Danarto mengatakan bahwa karya sastra merupakan hubungan interaktif dan kritis apresiatif antara lingkungan (ruang dan waktu) dengan diri pengarang. Sehingga ketika ia di ruang tamu misalnya, ia merasa menjadi bagian dari ruang tamu itu. Ketika berada di sawah, ia merasa begitu juga. Pendek kata sastra dianggapnya sebagai alat menerima dan memberikan kecerahan.
Dalam proses interaktif- kritis apresiatif dengan lingkungan, Danarto dapat menjalin hubungan, berdialog, dan mengekspresikan apa yang diperolehnya dalam proses itu sehingga ia merasa aman, tenteram, atau dengan istilah Danarto ‘cerah’ (tidak ditolak oleh lingkuangan dan bisa menjadi bagian dari lingkungannya).
Senada dengan itu, Tarigan (1993) menyatakan bahwa sastra dan pemahaman terhadapnya bukan saja memberikan kesempatan kepada kita menikmatinya dalam beberapa jam, menghindarkan diri dari kerumitan hidup, tetapi juga memberikan kepada kita pengalaman hidup dalam pengertian yang sebenar-benarnya.
Memandang pernyataan di atas, kita dapat mengerti bahwa berpuisi bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bukan pula perkerjaan yang tiada arti, membuang-buang waktu, berkhayal-khayal cengeng yang meracuni jiwa. Boleh jadi berpuisi termasuk ibadah wajib yang harus dilakukan setiap orang agar bisa menjadi khalifah bumi dengan baik. Ingat wahyu-wahyu Allah pun sangat puitis.
Berpuisi juga memberi berbagai kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Kita dapat memetik hikmah dari sifat, perbuatan, pendangan hidup, dan pengalaman orang lain yang diimplementasi melalui puisi. Pendek kata dengan berpuisi kita dapat memperoleh pelajaran tentang nilai-nilai luhur, nilai-nilai budi pekerti, nilai keagamaan, nilai moral, nilai sosial budaya, yang sangat bermanfaat untuk hidup bermasyarakat (ber-hablum minannas), kehidupan berketuhanan (hablum minallah), dan ber-hablum min makhluk lain. Hal ini dapat dimaklumi karena puisi itu merupakan hasil dari meniru alam (imitation of natural). Artinya, puisi diciptakan berdasarkan bahan-bahan yang ditemui, diserap, dan direnunginterpretasikan untuk dituangkan dalam bentuk eksploratif-kreatif kata-kata.
Yakob Sumardjo (1982) menyatakan,” Pengarang adalah pencipta, dan untuk itu, ia perlu bahan. Dan bahan itu terkumpul dalam buku-buku, baik buku pelajaran, ilmu agama, psikologi, filsafat, kebudayaan, kesenian, sosiologi, maupun buku-buku lainnya.”
Persoalannya mengapa buku? Buku merupakan hasil dari kajian ilmiah yang data-datanya sangat objektif. Artinya kadar ‘kenyataannya’ dapat dipertanggungjawabkan. Buku juga merupakan hasil reduksi dari hidup dan kehidupan, baik yang bersifat kontemplatif-imajinatif, interpretasi subjektif, potret objektif, ataupun yang bersifat deskriptif-observatif. Boleh dikatakan sastra merupakan foto kenyataan (realitas objektif) yang dijepret dengan kamera indera cipta, rasa, dan karsa, kemudian diproses di studio kontemplatisi-imajinatif.
Mursal Esten (1987) juga menegaskan bahwa sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan-kenyatan yang hidup dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi cipta sastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tingi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif itu. Cipta sastra bukanlah semata-mata tiruan dari alam (imitation of nature) atau tiruan dari hidup (imitation of life), akan tetapi ia merupakan panfsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (Interpretation of life).
Berhubungan dengan sastra sebagai adopsi kreatif dari sebuah kenyataan, ada orang yang mengatakan bahwa sastra lebih dari sekedar sejarah. Sastra memotret totalitas peristiwa, di dalamnya terkandung potensi kodrati manusia, yang terdiri dari cerminan rasa, karsa, daya nalar (logika), dan nurani naluriah kemanusiaan. Berbeda dengan sejarah, yang memotret peristiwa hanya sebatas pengetahuan karena hanya sebagai konsumsi kognisi dan seringkali dipolitisir demi kepentingan penguasa tertentu. Akibatnya, sejarah tidak mampu menjangkau unsur rasa, karsa, dan nurani manusia secara universal.
Kita mengetahui bahwa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa Jepang yang sangat kejam. Tetapi, kita tidak akan pernah bisa membayangkan apa sebenarnya yang dirasakan, diderita oleh gadis-gadis Indonesia yang dipaksa jadi pelayan nafsu tentara-tentara Jepang, kalau hanya membaca sejarah. Bahkan, kalau hanya membaca sejarah, kita tidak akan pernah terlibat secara emotif apeknya makan katul, hambarnya bongkot pohon pisang, atau gatalnya sengatan kutu-kutu yang bersarang di celana goni. Juga, rasa takut yang sangat karena mendengar deru pesawat terbang yang siap menjatuhkan bom, dan pengapnya lubang persembunyian di lubang-lubang dalam tanah. Semua itu bisa didapat lewat menikmati sastra. Sastra memang kenyataan lahir batin yang lebih jujur karena mengungkapkan hal-hal yang pernah dialami, dibau, dirasakan, dipikirkan, didengarkan, dikecap, diraba, dan dilihat. Hanya dengan sastra kejujuran sejarah lahir batin dapat ditemukan karena sastra adalah kekujuran itu sendiri.

Kenyataan dalam Tirani dan Benteng
Sebagai sosok kenyataan sejarah, ‘Tirani dan Benteng’ menunjukkan bahwa penulisnya adalah orang yang cermat dalam mengamati, teliti dan rajin membuat dokumentasi, dan yang lebih penting lagi ia obyektif dalam memandang peristiwa yang dipotretnya. Secara total, ia terlibat langsung dengan peristiwa yang terjadi, saksi dan sekaligus pelaku sejarah. Bahkan bisa dikatakan ia adalah sejarah itu sendiri. Hal ini dapat dimengerti karena paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu:
1). Isi kata pengantar yang mengisahkan kronologis latar proses penciptaannya.
2). Penataan keruntutan tematis yang menjalin sebuah alur pergerakan peristiwa sejarah sekitar pergolakan politik tahun 66.
3). Pemasangan foto-foto dokumenter yang sangat berperan mempertegas dan memperjelas kenyataan sejarah.

Dalam ‘Tirani dan Benteng’ dengan jelas ditemukan formula ‘satu puisi = satu kenyataan’. Kegelisahan karena gagal panen tersirat dalam judul ‘Bukit Biru, Bukit Kelu’ , Syair Orang Lapar’ . Harapan untuk bebas dari penderitaan hidup, bebas dari rasa takut, dan bebas menyampaikan pendapat yang selama ini hanya indah di angan-angan tersirat dalam judul 'El‘gi Buat Sebuah Perang Saudara', ‘Bilakah Kau Akan Melintas Di Depanku’. Tekad berjuang untuk hidup mencari ilmu, pulang balik Pekalongan-Jakarta, di atas ketulusan dan kesederhadaan orang tua, yang sebagai guru berkat hasil pertanian: wortel, kentang, ikan kolam, bawang di desa ( Potret Di Beranda). Namun,, harapan untuk hidup bebas dari penderitaan masih terhadang oleh gejolak politik, perang saudara ( dalam Pekalongan Lima Sore, Jam Kota, Alamat Tak Kenal). Lebih parah lagi adanya peruncingan pertentangan ideologi yang mengarah ke fitnah, saling menyerang, saling memojokkan, mencurigai teman sendiri dan tidak terbina persatuan (dalam Percakapan Dengan Zaini, Dalam Gerimis). Sebagai tumpuan akhir adalah universitas (Republik Berpikir Bebas). Universitaslah yang masih memberi kesempatan untuk bebes membuka telinga, membuka mata, dan membuka pikiran (dalam Alma Mater, Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi, Jun Takami, Berkatalah Dengan Jelas, ‘Kota,Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit’, Surat Ricarda Huch 9 April 1933, Surat Ricarda Huch 4 Nopember 1941).
Kebimbangan akan ketidakpastian berlanjut terus sampai tahun 1965. Dengan ‘Pidato Ricarda Huch Di Depan Konggres Pengarang Jerman, Seusai Perang Dunia’, Taufik Ismail menyapaikan,” /Saya sering ragu-ragu dan/, / Bertanya-tanya . Pada bangsa saya/, /Sekian banyak yang latah dan menjilat/, / Sekian banyak sia-sia tersungkur ke bumi/. Bahkan, keragu-raguan itu menumbuhkan kecurigaan yang menghuni hati setiap orang. /Siapa dirimu?/, / Garis lurus khayali diujungnya sebutir/, /Logam/, /Siapakah diriku?/. Sesama tentara yang konon sebgai pelindung bangsa lebih gawat lagi. Antara baret warna satu dengan baret warna yang lain saling lirik-lirikan, diam-diaman, menyimpan dendam, menunggu kesempatan untuk bisa menikam. /… dengan rambutmu merah-ungu/, /Taburkan pelan, pelangi. Sepanjang lengkung lenganmu/, /Tiada terasa lagi di mana suara memanggil-manggil/, /Tiada suara lagi betapa cahaya makin menggigil/. Akhirnya, tidak bisa ditawar-tawar kegawatan ini harus dicairkan. Krans demokrasi yang tersumbat sebagai sumber segala masalah harus segera digelontokan walau masih dalam iklim seperti /… kerja Sisyphus/, /Menyusun gunung batu/. Bel tanda dimulainya pergerakan walau /Berkelining sepi/ di sela-sela /Andong-Andong Margomulyo/, /Keletak kuda…/, / Kota tua Yogya yang sepi/, telah berbunyi. /Cinta pada Kebebasan/, yang terlarang /Kemerdekaan yang masih tertahan/ harus segera dibongkar karena /Impian kemerdekaan/, terus /… membayang/, /Malam dan siang/.
Hal yang aneh dan tak masuk akal adalah menohok kawan sendiri dengan berbagai fitnah keji, buku dibakar, inflasi yang setiap menit melambung tinggi, /Umat dibunuhi di desa/, /Kus Bersaudara dipenjara/,/ Matine Guti Allah dipentaskan/. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa. Dan mencapai puncak krisis pada “Oktober Hitam’ . Jendral-jendral putra terbaik bangsa diculik dan dibunuh secara sadis, termasuk diantaranya seorang gadis polos yang tak berdosa mati tersungkur bersimbah darah di depan bapaknya oleh pelor pengkhianat. Suasana duka yang hitam pekat menyelimuti seluruh negeri. Tumbal permainan poltik ini telah membangkitkan kemarahan seluruh demonstran. Gejolak demonstrasi menggejala di mana-mana, demo mendobrak tirani.
Tirani telah memporak-porandakan seluruh jaringan negeri. Syaraf-syaraf negeri dilumpuhkan dengan pemasungan kebeasan, pemaksaan kehendak, penyelewengan ideologi, dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan yang illahiyah. Keadaan ini harus didobrak, dibongkar, direformasi dengan kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak sebuah malapetaka akan menimpa negeri tercinta, yang kemerdekaannya sudah diproklamirkan dengan korban beribu nyawa dan berjuta harta.
Penindasan tirani yang berpasukan alat negara bersenjata tersebut tergambar dalam judul ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Merdeka Utara’, ‘Harmoni’. Aksi ‘tirani’ itu sampai tega membunuhi ‘anak-anak sendiri’. /Di sinilah penembakan/, / Ditembakkan ke punggung/, /Anak-anaknya sendiri/. Suasana duka nestapa menyelimuti bumi pertiwi lagi. Anak sendiri ditembak olehbapaknya. Keberanian membela kebenaran oleh kaum muda diuji dengan gugurna beberapa kawan.
Suasana negeri semakin menggawat. Para tiran berupaya menghibur dengan mengadakan sidang di Bogor sampai dihadang-hadang dengan pengempesan ban-ban mobil di jalanan, tapi mereka lolos dengan helikopter. Hasilnya hanya pidato, slogan-slogan kosong. Tidak memuaskan tuntutan. Perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar semakin mengusung seluruh lapisan masyarakat. /Berjalan terus/, /Karena berhenti atau mundur/, /Berarti hancur/, ‘Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini’. /Tidak ada lagi pilihan lain/, / Kita harus /, /Berjalan terus/. Tirani tidak boleh tumbuh di bumi Indonesia.
Untuk menyerang tirani sebuah benteng diperlukan. Satu-satunya tempat yang memberikan harapan adalah ‘kampus’. Kampuslah yang memberikan kesempatan untuk menggerakkan massa menuntut ‘kebebasan’. “Universitas adalah Rebublik Berpikir Bebas”, begitu bunyi ucapan Bung Hatta yang dikutip Taufik Ismail.
Kampus menjadi mercusuar, sumber pemancar gelombang kebebasan, markas, dan sekaligus benteng bagi ‘pasukan tak berjenderal’ pembela kebenaran. Kenyataan ini tersirat dalam judul-judul ‘Benteng’. /Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas/, /Dan kita kembali ke kampus ini berlindung/, /Bersandar dan berbaring, ada yang merenung/ (dalam Benteng). Memang meletihkan, tapi untuk mencapai tujuan, negeri ini /…membutuhkan waktu yang tepat/ 9dalam 06:30). Bayang-bayang hitam (Silhuet) yang menghantui dan mengancam, menakutkan dan meletihkan, membuat penderitaan yang amat sangat. Sampai-sampai rasa duka pun terlarang. Mengekspresikan rasa ‘belasungkawa’ pun tercekam rasa takut. Ini dapat terlihat dari judul ‘Bendera’ : /Mereka yang berpakaian hitam/, /Dan masuk dengan paksa/, / Telah menurunkan bendera itu/, /… meninggalkan rumah itu/, /Kemudian ibu tua itu/, /Pelahan menaikkan kembali/, /Bendera yang duka/, /Ke tiang yang duka/.
Demonstrasi menuntut ‘kebebasan’ bukan saja dilakukan mahasiswa (KAMI), tetapi juga oleh pemuda-pelajar (KAPPI), dan bahkan ‘direstui’ oleh orang tua mereka. Fakta ini tersirat dalam judul ‘Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa’, ‘Persetujuan’, ‘La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini’, ‘Dari Ibu Seorang Demonstran’, ‘Yell’, ‘Oda Bagi Seorang Supir Truk’.
Gugurnya beberapa kawannya, bukannya membuat surut gerakan KAMI dan KAPPI, tetapi jsutru semakin mendongkrak dan mempertebal keyakinan mereka akan perjuangan yang dilakukan. /Kami tidak bisa dibubarkan/, /Apalagi dicoba dihalaukan/, /Karena Arif telah gugur/ (dalam ‘Horison’). Bahkan demo semakain menggila, /Kini kami beratu-ribu/, /Menggiring sejarah/ (dalam Rendes-Vous). Kenyataan ini oleh penguasa dihadapi dengan pelor panas dan gas air mata. Kantung-kantung demonstran dijaga ketat, dipagar betis, dan dijaring dengan kawat-kawat berduri. Namun, semua itu tiada arti bagi pasukan tak berjenderal, kafilah jihad amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka sudah bertekad bulat tidak akan berhenti kalau semua kedok kekhianatan dan kebatilan penguasa belum turun dari ‘mahligai kebesaran dengan kereta-kereta kencana yang ternoda’ (dalam ‘Kata Itu, Suara Itu’, ‘Malam Sabtu’, Kamis Pagi’, Memang Selalu Demikian, Hadi’ ,’Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret).
Pembunuhan beberapa jenderal, seorang ajudan, dan beberapa ‘anak sendiri’ semakin mempertegas bahwa kebiadapan yang dilakukan para tiran tidak bisa ditolerir lagi. Akhirnya dengan tegas diproklamirkan suatu laskar jihad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang telah dinjak-injak. Laskar-laskar jihad yang lain pun bermunculan. Mereka tergabung dalam tentara rakyat yang terdiri dari unsur mahasiswa, pemuda- pelajar, ulama, dan masyarakat, bergerak melucuti kebatilan. Hasilnya, /Anak-anak belasan tahun berlarian riang/, /Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan/, /Yang khianat dan kini dipisahkan dari pimpinannya/, /Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja/. Dan, semua gambaran di atas itu, menjadi kenyataan sejarah yang pahit. Pahit karena /Tanah dijarah, bumi dijajah/, /Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang/, /Orang asing dan beberapa pribumi/.


Foto-Foto Dokumenter Mempertegas Kenyataan Sejarah.
Suatu keistimewaan yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah karya sastra dilengkapi dengan foto-foto dokumenter. Foto-foto inilah yang mempertegas '‘satu puisi = satu kenyataan”. Taufik Ismail ingin menyampaikan bahwa apa yang ditulisnya dalam puisi ‘Tirani dan Benteng’ memang nyata adanya, benar-benar terjadi di bumi Indonesia. Hal ini bisa dipahami karena Taufik pernah menjadi wartawan. Dan, dalam kata pengantarnya, ia menyampaikan, “Visualisasi demonstrasi 66 dan puisi saya saling memperkaya. Foto itu tidak harus menerang-jelaskan puisi di sebelahnya, dan puisi itu bukanlah pula berugas sebagai teks gambar tersebut. Masing-masing berdiri sendiri, tapi tolong dengarkan mereka bercakap beraust-sahutan…”
Dengan demikian tidak berlebihan kija dikatakan ‘Tirani dan Benteng’ = kenyatan sejarah yang lebih lengkap. Artinya, ia bukan sekedar sejarah yang menuturkan pengetahuan sejarah, tetapi juga menuturkan apa yang pernah ada dalam otak, dalam hati, dan dalam peristiwa perbuatan tingkah laku di suatu negeri. Pendek kata ‘Tirani dan Benteng’ adalah potret 3 H (head, heart, dan hand) suatu masyarakat Indonesia pada masa sekitar pergolakan politik tahun enam puluhan.

Akhirnya semua dalam kata
Abadi dalam kata:
Pelangi-Mu, nafas-Mu, hamparan makhluk-Mu,
perjalanan bayangan-Mu

Semua dalam kata
Abadi-Mu, abadi dalam kata



Malang, 5 Agustus 2002

PENDIDIKAN

SIAPA BERANI MELAKSANAKAN REFORMASI PENDIDIKAN SECARA TOTAL DI SEKOLAH
(Sebuah Refleksi dan Intropeksi)

Oleh: Drs. Teguh Pramono

Lokomotif reformasi telah melaju hampir satu dasawarsa, ditandai tumbangnya rezim Orde Baru. ’Reform movement’ ini begitu meletus langsung menggelombang ke segala sudut wilayah dan bidang kehidupan. Seluruh media massa, baik cetak maupun elektronik penuh sesak dengan gemuruh gerakan reformasi ini. Bahkan, konon di warung Mbah Suro, yang terpencil jauh di wilayah paling selatan pulau Jawa pun tak luput dari dialog-dialog mengenai ’reformasi’ ini. Begitu dahsyatnya makhluk ’reformasi’ ini mewabah, menggejala pada setiap dengus nafas, setiap potong kata, dan malahan mewarnai setiap detak waktu. Apa sih sebenarnya reformasi itu? Makhluk anehkah, semacam ninja? Mengapa mesti ada makhluk semacam itu? Apakah makhluk itu juga mewabah di sekolah-sekolah?
Kata ’reformasi’ dalam bahasa Inggris tertulis ’reformation’ yang berarti ’perbaikan’, ’pembaruan’, atau ’penyususnan kembali’ (John Echol dan Hasan Shadily). Apa yang diperbaiki, diperbarui, atau disusun kembali? Mengapa hal itu dilakukan? Beranikah kita melakukannya?
Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut gampang-gampang susah. Gampang, karena mudah dikatakan. Susah, karena akan mengundang berbagai problema baru dengan segala resiko-resikonya. Sebagai sebuah illusrasi akan diceritakan cerita delimatik berikut.
Aturan sekolah mengatakan bahwa siswa yang melanggar tata tertib (tidak memakai seragam misalnya) akan dikenai sanksi. Pada suatu hari Si Tono tidak memakai sepatu karena rumahnya jauh, hujan deras lagi. Sepatu Tono basah. Karena Tono tidak mempunyai sepatu cadangan maka ia memakai sandal ke sekolah untuk mengikuti pelajaran seperti biasanya. Apa Si Tono akan mendapat sanksi? Jawabannya belum tentu! Memang, semestinya Si Tono dikenai sanksi. Kan, aturannya begitu. Tapi setelah berbagai pertimbangan maka akan muncul berbagai pendapat dan pertimbangan yang menyebabkan ketidakpastian dalam melaksanakan aturan. Ketidakpastian inilah sebenarnya yang menjadi pemicu permasalahan. Mana ada kebenaran kalau tidak ada kepastian. Oleh karena itu jangan disalahkan jika sebagaian siswa akan menyimpulkan bahwa ketidakpastian itulah sebenarnya aturan yang harus diikuti. Hal ini terjadi karena pemberlakuan aturan tergantung dan melihat siapa, bagaiman, di mana, seberapa-nya pelanggaran. Tidak mengacu ke aturan itu sendiri. Ilmu matematika tidak berguna dalam hal ini (apa yang dipelajari siswa menjadi mubadir).
Contoh lain seperti apa yang dialami oleh Si Yono, Si Parto, dan Si Dolah. Mereka bertiga adalah siswa-siswa yang sering bolos sekolah, bahkan di antara mereka ada yang masuk kalau ada kegiatan ekstra atau ulangan saja. Namun, apa dikata mereka bertiga rajin mengumpulkan tugas, dan nilai yang diperoleh selalu memuaskan. Mereka berpikir untuk apa berlama-lama di sekolah kalau apa yang diajarkan oleh guru-gurunya dapat dipelajari sendiri di rumah atau sambil bermain-main dengan geng-gengnya. Tidak dapat disangsikan lagi mereka selalu naik kelas dengan nilai-nilai yang tidak mengecewakan. Tetapi lain halnya dengan Si Ali. Dia orangnya pendiam, polos, lugu, duduk paling depan, sangat hormat kepada guru, dengan teman-temannya tidak pernah berantem. Pokoknya siiiplah sikapnya! Namun, sayang seribu sayang, nilai ulanganya selalu ’jeblok’ semua. Bagaiman tidak jeblok kalau nilai Bahasa Indonesia 5, KWn 5, Bahasa Inggris 4. Naikkah ia? Jawabannya mungkin naik, mungkin tidak. Mengapa? Entahlah. Tergantung dari sipa, bagaimana, di mana, alias hukum ketidakpastian yang akan bicara. Lagi-lagi ilmu matematika tidak berlaku. Sesuatu aturan yang mestinya sudah pasti dilanggar sendiri dengan alasan-alasan yang tidak mendidik (karena menanamkan nilai-nilai ketidakpastian dan membingungkan siswa). Masih banyak contoh-contoh praktik penanaman nilai kontradiktif dengan apa yang seharus ditanamkan kepada siswa sebagai nilai kejujuran dan kebenaran.
Apakah hal semacam tersebut di atas dapat dianggap sesuatu yang perlu direformasi? Kalau dijawab iya, sungguh dibutuhkan keberanian yang luar biasa. Hal semacam ini sudah menjadi ’darah daging’ dan mewabah di sekolah-sekolah sehingga akan menimbulkan rasa sakit yang dalam kalau dicabut begitu saja. Ibarat tumor, untuk menghilangkannya memerlukan biaya yang mahal dan alat yang canggih. Dan, tentu saja memerlukan pemikiran, rencana, dan pengerjaan yang ekstra hati-hati agar tidak terjadi malapraktik. Di samping itu juga membutuhkan pengorbanan dan perjuangan yang tidak tangung-tanggung dari semua pihak. Baik dari pihak pasien maupun pihak tenaga medis dan tentu saja pihak keluarga pasien. Nah, bagaimana dengan kasus Si Ali? Apakah suatu pelanggaran jika ia yang berkepribadian baik tetapi cacat akademik, dinaikkan kelasnya atau diluluskan? Begitu sebaliknya apakah suatu hal yang keliru kalau Si Tono dan kawan-kawan yang ’bolosan’ bahkan sering melanggar tata tertib diluluskan karena nilai yang diperoleh memang memenuhi persyaratan untuk itu. Beranikah pihak sekolah memberikan nilai kepribadian K kepada Tono dkk ? Atau tegakah guru-guru memberikan nilai akademik minim kepada Si Ali? Jawabannya terserah tuan-tuan!
Kehendak reformasi paling tidak muncul karena beberapa sebab. Pertama, didorong oleh hasrat ingin mengubah ke arah lebih baik dari keadaan sebelumnya. Kedua, didorong oleh rasa ingin bebas merdeka dari suatu keadaan yang begitu membelenggu dan menekan. Ketiga, didorong oleh hasrat menyesuaikan dengan perubahan-perubahan. Dengan demikian persoalan yang muncul adalah: 1) apakah sekolah kita sudah diarahkan dengan segala daya upaya ke arah perubahan yang lebih baik bagi siswa, tenaga edukasi, lembaga dan masyarakat yang memilikinya? 2) Apakah sekolah sudah memberikan suasana yang memerdekakan, membebaskan dari rasa tertekan? 3) Dan, apakah sekolah sudah mampu mengejar perubahan-perubahan yang terjadi sehingga sekolah yang konon disebut-sebut sebagai mini society mampu meberikan kontribusi optimal kepada pembentukan karakter-karakter generasi yang berbudaya dan berakhlak seperti yang kita harapkan? Siapa yang berani menjawab dan bisa menjawab? Angkat tangan! (biasanya tidak ada yang berani dengan tegas angkat tangan karena takut, jiwanya dibelenggu ketidakbebasan dengan dalih berbagai alasan)
Reformasi akan terus berlangsung seirama dengan perubahan waktu dan kebutuhan. Namun, arah dan reformasi perlu ditegaskan dan dipastikan agar ada kesatuan misi dan visi dan tidak menimbulkan kekacauan-kekacauan, kekaburan-kekaburan nilai. Dan bagaimana sekolah menghalau makhluk yang berinisial ’reformasi’ ini? Di puncak-puncak departemen telah bergemuruh pembantaian terhadap makhluk kolusi, korupsi, dan nepotisme. Bagaimana di sekolah sebagai akar serabutnya? Siapkah? Beranikah? Memiliki kemauankah? Adakah tumor kolusi, korupsi, dan nepotisme itu di dalam tubuh yang indah itu (baca sekolah) ? Yang mana?
Kolusi diadaptasi dari kata ’collosion’ yang berarti ’sekonggkol’. Artinya, melakukan kerja sama untuk memperoleh keuntungan pribadi atau keuntungan kolektif tanpa memperdulikan yang dirugikan. Sedangkan korupsi diturunkan dari kata ’corrupt’ yang berarti ’jahat’ atau ’rusak’. Kemudian dalam perkembangannya kata korupsi berarti ketidakjujuran (kecurangan) dengan jalan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau golongan dan merugikan lembaga atau golongan lain. Lain lagi dengan nepotisme. Nepotisme berasal dari kata ’nepotism’ yang berati mendahulukan sanak saudaranya sendiri, khususnya dalam memberikan jabatan. Adakah makhluk-makhluk buas tersebut di sekolah?
Hal mendasar, yang tidak atau jarang tersentuh (kalau tidak boleh dikatakan ’dibuat lupa’) karena sudah menjadi rutinitas akut yang turun-temurun, yang nyaman (pokoke padha penake) dan ini ironisnya terjadi di lembaga pendidikan yang konon diharapkan dapat mencetak insan penerus bangsa adalah sebagai berikut.

Korupsi waktu.
Korupsi waktu nyaris tidak dianggap korupsi karena tidak berbentuk materi. Padahap bila melihat arti kata korupsi, indisipliner merupakan salah satu tindakan kejahatan yang dapat merugikan negra dan masyarakat. Kita bisa membayangkan kalau setiap orang mengurangi jatah kewajiban waktu yang 120 menit menjadi 100 menit. Bila setiap menit pemanfaatan waktu bisa menghasilkan satu produk saja, negara akan kehilangan 20 produk, yang mestinya dapat disumbungan untuk orang lain yang membutuhkan. Jumlah ini akan menjadi berlipat-lipat jika yang melakukan hal yang sama 100 orang, seribu orang dan seterusnya. Bila satu orang selama satu hari telah merugikan negara atau orang lain sebanyak 20 produk, selama satu tahun kita bisa membayangkan. Bagaimana kalau ia bekerja sepuluh tahaun? (Ambil kalkulator! Hitung sendiri!). Apakah ini terjadi di sekolah? Tanyakan pada rumput yang bergoyang dalam sanubari kita? Bagaimana ini bisa direformasi? Sungguh pekerjaan yang rumit dan memusingkan! Mengapa demikian? Yang jelas karena membutuhkan banyak intrumen penegak disiplin, intrumen administrasi yang valid, dan yang lebih penting lagi adalah intrumen diri yang militan. (Ah, rasanya tak mungkin dilakukan kalau profesionalisme hanya sebatas di bibir saja, baik dari pemerintahnya maupun dari personil-personil yang terkait dengan itu). .

Korupsi Informasi
Sering kali karena kita merasa menjabat, merasa senior, merasa menjadi guru, lalu lupa bahwa kita bukan lah Yang Maha Benar. Akhirnya, berbagai uapaya pun kerap kita lakukan untuk menutupi kelemahan, kesalahan, kebodohan, kelupaan kita. Boleh jadi, secara ekstrim ada yang mengatakan kulit luar dari seluruh permukaan tubuh kita adalah kanvas yang bagus untuk topeng-topeng dari hati nurani yang sebenarnya. Bolehlah dikatakan kita selalu bertindak bohong dan munafik. Apakah ini termasuk korupsi informasi dari kita sebagai salah satu sumber belajar siswa? Ah, mengerikan sekali !
Korupsi informasi bermula dari kesengajaan menutup atau mempersulit, atau memutarbalikkan informasi untuk mencapai keuntungan pribadi atau golongan. Bisa jadi, kegiatan ini sengaja dilakukan agar diri pribadi atau golongannya bisa melaju ke depan dengan pesat, sementara orang lain atau golongan lain terseok-seok atau tergagab-gagap menggapai kemajuannya (semacam politik persaingan jual beli dagangan). Atau dengan sengaja informasi ’dipakai sendiri’ agar orang lain tidak berdaya menhadapinya atau kelompoknya. Bahkan, kalau perlu orang lain beserta kolega-koleganya takhluk, bertekuk lutut di hadapannya (semacam hegemoni informasi, jual beli informasi untuk keuntungan sendiri takpa berpikir akibat yang ditanggung orang lain). Ingat! Ada pepatah yang mengatakan bahwa ’siapa yang menguasai informasi (baca IPTEK), dialah yang akan jadi penguasa. Apakah di dunia pendidikan sudah kerasukan ’roh’ seperti itu? Mungkin saja, karena ’roh-roh’ jahat itu gentayangan ke mana-mana mencari korban-korbannya! Jangan-jangan orang jujur akan hancur, sehingga muncul strategi yang kurang mendidik yakni bolehlah berbohong demi keselamatan diri atai kelompok. Atau, untuk apa kita harus jujur kalau akhirnya kita sendiri yang masuk penjara. Atau, kebohongan itu merupakan salah satu strategi dalam pendidikan? Ah, tak tahulah!

Kapan Korupsi Lahir?
Kapan korupsi lahir, tumbuh dan berkembang? Jawabnya tidak terlalu sulit! Yakni, sejak seorang bayi mulai mendapat pendidikan (mendengar, melihat, menirukan, mengucapkan dst). Binatang yang bernama korupsi ini akan tumbuh subur setelah seorang anak mendapatkan gizi tentang berkorupsi dari orang-orang di sekelilingnya, hingga anak tersebut dapat mengatakan sesuatu dan bertindak sesuatu dari hasil menirukan tadi Anak itu tidak memahami apa itu korupsi. Yang ia itu, ia menirukan apa yang dilakukan oelh orang-orang yang bersentuhan dengannya. Baik itu secara langsung, maupun tidak langsung). Dengan kata lain, ’korupsi’ tumbuh dan berkembang karena proses pendidikan! Baik pendidikan di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Kita tentu tidak percaya terhadap hal ini. Mana bisa percaya kalau kita sendiri sudah sulit membedakan mana itu yang benar dan mana itu yang salah. Bahkan intrumen untuk mengukur benar-salah pun telah terkontaminasi dengan intrik-intrik lembut dan canggih oleh ’roh’ halus itu. Bahkan, mungkin kita akan marah karena kita merasa tersuding! Boleh-boleh saja! Tapi yang pasti, anak tidak bisa melakukan tindakan tanpa ada yang dicontoh. Tanpa tuntunan tentu seorang anak akan sulit untuk bisa berkreasi membuat tontonan (berekspresi: berbuat, berkata-kata dst). Dan, yang paling menyedihkan anak setiap saat, setiap hembusan nafasnya disodori kenyataan-kenyataan yang verbalistik (hanya berlaku dibibir saja). Sementara, di sisi lain perbuatan yang dilihat dan dirasakan tidak seideal, seindah, dan semoralis dengan kenyataan yang dihadapi. Indera anak digelontor dengan nilai yang bertentangan dengan apa yang dipelajari. Dari berbagai buku, kitab, referensi penuh dengan nasihat-nasihat yang agung, luhur dan menentramkan (pokoknya ideallah), sementara di hadapannya berseliweran kenyataan-kenyataan yang nilainya bertolak belakang dengan pa yang ’diteorikan’ oleh para stake holder panutan. Dan, anehnya itu sering kali sudah dianggap hal yang wajar saja. Contohnya: Tinuk mendengar ayahnya, yang pegawai negeri itu, mengeluh karena untuk mengurusi kenaikan panggkat harus mengeluarkan uang tambahan (maaf, dengan sebutan uang ucapan terima kasih, uang ganti transpor, uang rokok, dan entah apa lagi namanya ). Karena hal itulah, suatu hari uang saku Tinuk harus berkurang 50 % karena digunakan untuk membeli bensin sambil mengantarkan berangkat ke sekolah (sebenarnya tidak seberapa, hanya dua ribu rupiah saja). Kejadian itu sampai di rumah jadi persoalan diskusi hangat. Persoalannya, kalau setiap pegawai golongan tertentu tidak enak, sungkan, atau lebih tepatnya suka rela yang sudah menjadi keharusan karena telah mewabah secara akut, tentu terkait dengan gengsi dalam memberikan tip kepada petugas, maka kita bisa menghitung dari 1000 pegawai, masing-masing membayar Rp. 5000,-. (Ayo, siapa yang berani memelintir ungkapan ini dengan ungkapan yang mengaburkan makna hingga tidak nampak kalau itu sebenarnya telah menimbulkan pola korupsi di suatu lembga/instansi?).
Secara faktual tidak ada konsistensi dan relevansi antara ’materi pembelajaran’ dengan apa yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (lagi-lagi korban pola permisisf). Perbuatan yang tidak korup nampaknya hanya sebatas gagasan dan idealisme yang utopis belaka. Hanya melayang-layang dari cerita ke cerita menjelang tidur sanga anak saja. Namun, begitu bangun yang nampak di hadapan anak adalah kenyataan yang sama sekali tidak mendidik seperti cerita yang didengar yang penuh dengan nilai ajaran moral.
Siapa yang berani mengubah cerita pelipur tidur ini menjadi kenyataan faktual? Angkat tangan! (Kalau ada yang berani bisa jadi ia dijuluki pahlawan gendheng, karena belum tentu mati sebagai pahlawan kok sudah menggali lubang kubur sendiri di Taman Makam Pahlawan! Ya, tidak). Masihkan kita akan berkelit-kelit dengan membolak-balik grembyang kenyataan nbila tayangan TV, media cetak memampangkan episode-episode cerita ironnis-tragis tentang sidang paripurna DPR, temuan penyelewengan uang Pemilihan Umum, illegal logging, kampung maling, dan entah apa lagi namanya yang lebih sadis dan dahsyat dari nama tersebut. Apa ceritanya tidak perlu diubah saja dengan cerita kepahlawanan, dimana pahlawan tersebut bisa menumpas keganasan ’binatang korupsi’. Awas tidak boleh mencibir atau panas hati! Ini bukan sindiran atau krtikan yang perlu dikonsumsi oleh hati. Tetapi, ini perlu pemikiran karena merupakan konsumsi otak yang pada akhirnya dapat dicarikan solusinya. Sekarang yang penting siapa yang berani menggeber kain merah di depan galaknya banteng yang bernama ’korupsi/tor’? (Ada yang angkat tangan? Paling angkat tangan doang karena bisanya angkat tangan saja!). Bila menghadang banteng orang lain sulit bagaimana kalau banteng dalam jiwa sendiri kita sa yang kita hentikan?)

Kolusi prestasi
Kolusi prestasi (nilai) ini paling parah terjadi di sekolah-sekolah. Hal ini ditandai dengan adanya gejala yang berupa harapan belas kasihan dari siswa kepada gurunya dan pertimabangan rasa kemanusiaan (yang penuh ketidakpastian dan kekaburan-kekaburan aturan) dari guru kepada muridnya. Kondisi kolusif ini terbentuk secara kompak, secara ’top down’ (pihak guru yang diamkan karena lembaga tidak mempunyai alat kendali dan kontrol yang memadahi) dan ’bottom up’(murid yang lembek semangat belajarnya). Dengan demikian terjadilah ’free pass tollgate’ tanpa mempertimbangkan kerangka berpikir masa depan. Betapa naifnya, bila seseorang berusaha dengan penuh idealisme memerangi kolusi jenis ini. Tak seorang pun berusaha dan berani ’mengutak-atik’ candi batu kolusif ini. Akan terjadi mala petaka yang mengutuk kalau ada yang coba-coba berani mengubah tatanan ’candi batu kolusif ’ ini. ’Pagebluk’ akan benar-benar menimpa. Bagaimana tidak. Seorang pejabat sekolah harus membuat instrumen yang setiap hari setiap jam harus mampu mengontrol semua kegiatan warga sekolah yang terkait langsung dengan proses penilaian. Guru harus menyelesaikan segala keperluan administrasi dan proses pembelajaran yang penuh dengan kreatifitas dan inovatif berbiaya tinggi (tenaga, waktu, dan materi yang tidak sedikit). Siswa akan di ’ditimbuni’ dengan berbagai bentuk disiplin matematis dan kaku. Pemerintah harus menyediakan berbagai fasilitas sekolah dengan dukungan anggaran 20% minimal dan intrumen pengontrol yang siap bekerja dengan tepat dan cepat. Sementara masayarakat akan ’kepontalan’ mengejar lajunya tuntutan dukungan-dukuangan fasilitas bagi anak-anaknya yang setiap semester harus berganti dan berubah. Sungguh menakutkankah? Hanya Allah Yangan Maha Mengetahui.
Bagaimana sebuah rasa gengsi dilacurkan pada awal tahun pelajaran baru dengan cara negosiasi antara pihak calon murid baru dengan sekolah. Banyak alasan yang menjadi pertimbangan untuk melakukan hal demikian: agar tidak nakal, agar dekat dengan neneknya, agar lebih mudah meraih masa depan, agar ada bina lingkung, agar dekat dengan rumah, dan masih banyak lagi agar-agar yang lain (memang agar-agar segar rasanya). Hal demikian kalau dipikir-pikir sebenarnya bukan hanya mengaburkan makna dari pendidkan, tetapi juga merugikan semua pihak (pola hidup permisif secara tidak langsung diajarkan dan direstui). Kehormatan lembaga sekolah tercoreng, siswa secara tidak langsung diajari bahwa hal demikian itu bukan sesuatu yang tabu, sementara orang tua tertekan karena merasa berutang budi kepada sekolah yang bisa jadi harus ditebus dengan senilai harta atau uang. Dan, praktik demikianlah yang sebenarnya ikut membentuk pola hidup ’permisif’ dan ’materialis-kapitalistis’. Hal demikian akan tertanam secara mendalam dan mengkristal pada jiwa anak. Dan, suatu ketika si anak akan menganggap bahwa ini memang harus dilakukan (terjadi pelestarian penanaman nilai edukatif yang kabur). Kalau toh anak suatu saat nanti menjadi pejabat, anggota dewan, atau pun presiden, ia kan menerapakan apa yang pernah dipelajarai dan diajarkan sewaktu di sekolah. Sudah menjadi kebiasaan jee! Budaya demikian dengan tanpa disadari (disengaja) telah menodai warna putih jiwa anak-anak, yang konon menurut teori ’tabula rasa’ anak itu bagai kertas putih bersih, yang memberi warna adalah lingkungan dan orang tunya (termasuk gurunya). Praktik demikian kalau tidak segera direformasi akan banyak menelan korban anak tak berdosa karena ini merupakan bencana masa depan, yang dilegitimasi. Ada pepatah mengatakan, ’the disaster took a heavy tool’ (bencana itu akan banyak makan korban). Ingat peristiwa ’kampung maling’, ’adu jotos anggota dewan’ yang sebagian orang menganggap itu termasuk proses demokrasi. Ingat pula Marsinah pahlawan buruh (tumbal bagi buruh), Munir pejuang HAM, wartawan Udin, isue dukun santet, kiayi cabul, tawuran antar mahasiswa, peristiwa BOM, dan sederet demoralisasi yang lain. Mengapa ini semua bisa terjadi? Siapa yang salah? Bagaimana pun sekolah ikut kena getahnya (mestinya ikut bertanggung jawab). Ada olok-olok dalam bahasa Jawa ’mosok nulis ngene wae ora iso, sekolahmu neng endi, sapa gurumu, sapa sing ngajari kowe ngapusi, dan lain-lain perkataan yang cenderung menohok lembaga pendidikan. Nah, bagaimana kalau sudah demikian? Keadaankah yang salah? Kalau sudah demikian siapa yang berani mengakui bahwa sekolah merupakan pencetak generasi bangsa yang terdidik dan berbudi pekerti luhur serta berakhlak mulia? Siapa yang berani mereformasi keadaan ini? Atau siapakah seharusnya berani melakukan ini semua? Angkat tangan! (biasanya tidak ada yang berani angkat tangan karena jiwanya terpasung rasa takut, sungkan, tadak mampu, masa bodoh dll)

Nepotisme
Jenis makhluk lain yang bernama nepotisme ini dalam kehidupan persekolahan juga telah mewabah dengan akut. Bahkan memadati seluruh pori-pori tubuh lembaga pendidikan yang konon akan mencetak insan-insan pembangunan bangsa yang berkualitas agar mampu bersaing dengan negara lain. Saking akutnya, sungguh tidak terasakan lagi apa itu salah, apa itu benar, apa dosa atau tidak. Tentu kita yakin bahwa adanya aturan, prosedur, kreteria, pedoman-pedoman, dan undang-ungang bukan untuk dilanggar tetapi untuk diikuti.
Nepotisme merupakan makhluk yang berpotensi menjerumuskan ke perbuatan curang, jahat, nakal, tidak adil, dan bahkan sampai tega memakan bangsanya sendiri dalam bentuk berbagai kedok visual, verbal, audio, atau variasi gabungan ketiganya. Dalam nepotisme berlaku hukum rimba, ’rule of the jungle’. Siapa ang punya taring, ia yang akan buas. Siapa yang jadi macan, ia yang akan ditakuti. Tentu, ’macan kedhe menang kerahe’. Pada keadaan semacam ini, yang namanya manusia, tidak pandang bulu apa itu siswa, mahasiswa, guru, atau ratu akan jatuh pada tempat yang paling rendah, sejajar dengan hewan. Kalau begitu memang benar pepatah yang mengatakan bahwa manusia itu adalah binatang yang paling sempurna.
Nah, kolusi, korupsi, dan nepotisme yang mana yang akan direformasi oleh sekolah? Perlu sebuah kearifan walau kearifan, kadang juga, menyakitkan orang yang tidak puas. Namun, sekolah harus segera memulai entah dari mana kalau memang peduli terhadap akhlak bangsa. Memuaskan semua pihak merupakan hal yang sulit karena kadar kepuasan bersifat individualistis dan cenderung mengarah ke sifat egoistis. Sungguh semua akan tertib dan tenteram jika kembali kepada aturan yang berlaku yang sudah disepakati bersama karena adanya tuntunan Illahi Robbi. Ayo sipa berani?

Penulis Guru SMA N Pagak

Selasa, 23 Februari 2010

Bank Naskah

SIPON SI KEMBOJA PUTIH

PELAKU:
SIPON = IBU = NARATOR



LAMPU PANGGUNG MENYALA TERANG. DARI SISI LAIN RUANG PERTUNJUKKAN, MUSIK CERIA MENGIRINGI MASUKNYA SIPON KE DALAM PANGUNG. SIPON BERNYANYI SAMBIL MENARI

SIPON :
Ibu adalah aku, aku adalah ibu
Ibu adalah aku, aku adalah ibu
Ibu adalah langit biru, langit biru adalah aku
Ibu adalah bulan sabit, bulan sabit adalah aku
Ibu adalah Kemboja Putih, Keboja Putih adalah aku
Aku adalah ibu, ibu adalah aku
Aku adalah ibu, ibu adalah aku
Karena aku dan ibu adalah SATU
Tetapi … ( BERHENTI UNTUK BEBERAPA SAAT) Kalau ibu akan menikahkan aku dengan lelaki pilihannya, berarti ibu bukan aku!
(KE PENONTON) Maaf penonton! Aku sebagai anak satu-satunya seorang janda yang agak materialis, bolehlah dibilang begitu, tidak mau kalau dijodohkan begitu saja, tanpa memperhitungkan perasaan yang kurasakan. Aku sendiri heran mengapa jaman sudah demokratis, tetapi ibu masih suka otoriter. Bagaimana sih sebenarnya ceritanya? Ikuti saja!

SIPON MENGAMBIL POSISI DAN MEMERANKAN SEORANG IBU YANG SEDANG MENGHADAPI KETEGUHAN PENDIRIAN ANAKNYA DENGAN SINIS

IBU :
Sudah sekian lama aku dilanda derita sepi setiap hari. Aku ingin rumah kita ini lebih hidup penuh canda dan tawa seperti dulu lagi. Kau anak satu-satunya harapan pengusir sepi, harus bisa membalas budi. Ibu ingin kau mematuhi permintaan ibu! Menikah dengan Drs. Panji Abdul Sholeh! Tidak boleh kau tolak. Sudah lama kau kuberi kesempatan untuk menjawabnya. Sekarang waktu yang kuberikan sudah habis. Ayo jawab ! Mau, kan! Mau, Kan? (MARAH) He! Kenapa kau diam saja! Tidak cukupkah cinta ibu sebagai bukti untuk balas budi. Masih akankah kau katakan, bahwa perkawinan itu bukan penyatuan tetapi perpecahan? Kau tahu, calonmu ini seorang Dosen bertitel yang bolak-balik mendapat penghargaan karena prestasinya ! Gajinya besar!, Mobilnya dua! Pendidikannya tinggi dan sudah punya rumah sendiri! Dia itu sudah jelas dan benderang masa depannya. Apa kau masih mempertahankan perjakamu yang setiap hari cas cis cus, jreng-jreng, hah, hih, hoh, latihan vokal itu? (MENGHAMPIRI SIPON DAN MENOHOKNYA DENGAN JENGKEL) Heh! Anak gendheng! Sudah sekarang pikirkan baik-baik! Kau mau balas budi cinta ibu atau tidak! (MEMBENTAK DAN PERGI)
(Maaf Penonton! Sepertinya, Penonton Kurang Suka Dengan Ibu Tadi. Tetapi, Tanpa Bermaksud Mengurangi Daya Apresiasi Penonton Mari Cerita Ini Kita Teruskan).

IBU MELEPAS SEMUA KOSTUM DAN ASESORIS YANG DIKENAKAN. SETELAH ITU, IA LANGSUNG BERGANTI PERAN MENJADI SIPON.
(Sipon Si Kemboja Putih, Terlepas Dari Tangkai Terterpa Angin. Mendung Kelabu Melintas Di Atas Tanah Kuburan Meredupkan Bayang-Bayang Tuhan. Sipon Si Kemboja Putih Teringat Seekor Kumbang Terbang Merendah).

SIPON :
MENANGIS) Mas Brodin…! (MENIMANGI FOTO) Tidak ingatkah kata bacaan-bacaan Tuhan yang pernah kita senandungkan? Di relung kelemahan ada palung keperkasaan. Di titik kenistaan ada garis kebijakan. Di antara bentangan jarak ada tali pengikatnya. Mas Brodin… malam gelapku taburilah dengan bintang-bintangmu! Mas Brodin, sibaklah awan di langitku, agar aku bisa melihat matahari. Mas Brodin…. (JENGKEL) Dasar laki-laki tak punya nyali! (SETELAH BEBERAPA SAAT VAKUM)

LAGU:
JENANG GULO
Jenang gulo,
kowe aja lali marang aku iki, ya Dimas,
nalikane nandang susah, aku sing ngancani,
dhek senama,
aku tetep setya, sarta tetep trisna, ya Dimas
dereng nate gawe gela lan gawe kuciwa,
ning saiki, bareng mukti,
kowe kok njur malah lali, marang aku,
sithik-sithik, mesthi nesu, terus ngajak padu,
ja ngono, aja ngono
apa kowe pancen ra kelingan,
jamane dhek biyen yo Dimas,
kowe janji, bungah susah pada dilakoni
(SETELAH VAKUM BEBERAPA SAAT, SIPON SANGAT JENGKEL DAN FRUSTASI)
Baiklah! Baiklah! (FOTO DIHEMPASKAN KE LANTAI).
Baiklah! Kalau semua senang dengan sepi! Akan kuciptakan ramai untuk menemani sepiku. Akan kuusir sepiku dengan sepi! Mas Brodin inilah ramai yang akan mengusir sepi-sepi. Dan sebelumnya, khusus kepada ibu kutulis surat ini sebagai pekabaran kelahiran bagi cucu ibu. Baiklah !
Buat Ibu tersayang,
Ibu, sebelumnya, maafkanlah Sipon! Sebenarnya Sipon tidak tega mengatakan ini semua kepada Ibu. Tetapi, Sipon tak sanggup lagi menyembunyikan apa sebenarnya yang nyata-nyata terjadi pada diri Sipon.
Ibu, sekian lama Sipon menutup rapat rahasia pribadi sampai-sampai Ibu yang mengasuh dan mengukir jiwa raga Sipon pun tidak mengetahuinya. Sipon sungguh memahami bahwa Ibu adalah penabur tinta emas pada lembaran jiwa Sipon. Ibu adalah pohon rindang tempat berteduh di padang pasir. Ibu adalah bulan purnama di malam gelap. Ibu adalah asinnya air lautan kehidupan. Ibu adalah air sejuk di saat-saat kehausan. Ibu adalah kokok ayam jantan di pagi subuh yang telaten membangunkan Sipon agar tidak kesiangan ke sekolah. Ibu adalah selendang sutera bidadari yang beraroma surgawi yang di dalam gendongannya semua bayi di muka bumi ini akan lelap tertidur. Ibu adalah menu empat sehat lima sempurna bagi hidupnya jiwa raga Sipon. Ibu adalah multivitamin yang menjaga Sipon dari segala serangan penyakit. Tapi,…kali ini, sekali lagi Sipon minta maaf. Sipon harus memilih sebuah keputusan yang tidak pernah diajarkan oleh seorang ibu kepada anaknya, yakni menempuh jalan kematian.
Ibu, maafkanlah Sipon Si Kemboja Putih kalau selama ini selalu mengelabuhi Ibu dengan berbagai macam alasan untuk tidak menikah dengan pria pilihanmu. Ibu, Sipon tidak sanggup meluluskan permintaan Ibu: memberi seorang cucu yang Ibu dambakan dari lelaki pilihan Ibu.
Ibu, sejak kecelakaan yang menimpa Sipon dan Bapak dua tahun lalu, ada garis takdir yang harus kita terima. Dengan meninggalnya Bapak, seakan-akan memberi pertanda punahnya keluarga kita. Hal inilah yang takut Sipon katakan kepada Ibu. Hasil analisa dokter cinta menyimpulkan bahwa salah satu fungsi saraf yang berhubungan dengan minat terhadap laki-laki tidak berfungsi lagi, kecuali kepada Mas Brodin. Jadi, sejak setahun yang lalu, Sipon tidak mungkin melalukan hubungan kasih sayang kecuali dengan Mas Brodin. Artinya, kalau toh Sipon menikah dengan lelaki pilihan Ibu hanya akan mendatangkan siksaan belaka. Hidup Sipon tidak berarti lagi jika tidak dinikahkan dengan Mas Brodin. Sipon tidak mungkin kawin dengan lelaki lain , Bu! Sipon takut kawin dengan lelaki lain! Untuk itu, lebih baik Sipon mati saja agar penderitaan yang menyiksa batin Sipon segera terselesaikan. Maafkan Sipon, Bu! Selamat tinggal!
Puteri tersayang,
Sipon Si Kemboja Putih

Kalau Ibu memang menghendaki cucu, aku akan menuruti. Yah, inilah, Ibu! Inilah bayi yang Ibu kehendaki! (SAMBIL MENGULUR KAIN PANJANG YANG MEMBALUT TUBUHNYA) Inilah bayi yang Ibu tunggu! Bayi yang akan menemani Ibu jika kesepian. Bayi yang akan hidup dan tak pernah mati ! Inilah cucu kesayanagn Ibu telah lahir! (MENJERAT LEHERNYA SENDIRI)
Putih Bunga Kemboja Melayang-Layang Di Atas Kuburan. Bulan Sabit Di Sela Awan Hitam Teriak Kesakitan. Bunga Kemboja Tumpuan Harapan Kini Layu Dalam Melahirkan Harapan Sepanjang Hayat. Harapan Ibu Yang Malang Karena Kesepian. Dan Sepi Itu Menapaki Liku-Liku Suram Sepanjang Bayangan Tuhan.
Ibu Tetaplah Ibu. Puing-Puing Harapan Sepi Bukan Halangan Untuk Mencapai Puncak Kepuasan. Suramnya Bayangan Tuhan Bukan Halangan Untuk Menemukan Kepastian Tuhan
Ibu Tetaplah Ibu. Kasing Sayangnya Tak Mungkin Ditutup Dan Dihadang Segala Rintangan.

IBU :
(MENCARI) Bunga Kemboja Putih! Di mana kau? Bunga Kemboja Putihku, Ibu yakin angin darat tidak akan mampu melepaskanmu dari tangkai. Bunga Kemboja Putihku! Di mana kau? Lihatlah! Ibu tidak pernah bosan menyapu langit agar tetap biru! Semuanya untukmu. Lihatlah Ibu juga selalu menjaga pelita ini agar tetap terang benderang!(MENUNJUKKAN PELITA YANG DIBAWA). Semuanya untukmu, sayang! Kembalilah Kemboja Putihku! (MENANGIS) Kembalilah anakku! Ibu telah mengerti arti sebuah bulan sabit yang pernah kau sebutkan! Ibu telah memahami arti langit biru yang pernah kau katakan! Ibu menyesal, Nak! Ibu telah salah dalam memaknai kata cinta. Ibu menyesal mengapa demi keseimbangan galah timbangan, cinta seorang ibu harus dibayar dengan balas budi anak. Maafkan Ibu! Maafkan Ibu! Ibu tidak akan memaksakan perjodohanmu. (MENANGIS TERISAK-ISAK)

PADA SUAU KESEMPATAN, PANDANGAN IBU TERTUJU PADA GAMBAR KEMBOJA PUTIH, BUNGA KESAYANGAN TERGANTUNG DI ATAS PINTU. IBU MENJERIT. IBU TAK SEMPAT MENCERMATI APA SEBENARNYA YANG SEDANG TERJADI. TANGIS PANJANG MEMBENTANG DI GALUR-GALUR KEKALUTAN.
SIPON DARI SISI LAIN MUNCUL SERAYA MENGHAMPIRI IBU YANG MASIH TERSEDU-SEDU.

SIPON :
Ibu! Ibu! (LEBIH KERAS). Ibu ini aku, Kemboja Putih harapan Ibu (MEYAKINKAN KEPADA IBU). Lihatlah ada bayangan Tuhan di sekujur tubuhnya seperti yang pernah Ibu ajarkan melalui aliran kasih dari air susumu, Ibu!

IBU DAN SIPON BERPELUKAN MELAMPIASKAN KEHARUANNYA. SANGAT ERAT. KEDUANYA TIDAK MUNGKIN DIPISAHKAN KARENA DALAM JIWA IBU ADA JIWA SIPON. BEGITU SEBALIKNYA, DALAM JIWA SIPON ADA JIWA IBU.
SIPON DAN IBU MASIH TERUS BERPELUKAN KETIKA LAMPU PANGGUNG SUDAH REDUP. BAHKAN, TERUS BERPELUKAN SAMPAI SELURUH PENONTON MENINGGALKAN RUANG PERTUNJUKKAN.

Ibu adalah aku, aku adalah ibu
Ibu adalah aku, aku adalah ibu
Ibu adalah langit biru, langit biru adalah aku
Ibu adalah bulan sabit, bulan sabit adalah aku
Ibu adalah Kemboja Putih, Keboja Putih adalah aku
Aku adalah ibu, ibu adalah aku
Aku adalah ibu, ibu adalah aku
Karena aku dan ibu adalah SATU
Tetapi …
Kalau ibu akan menikahkan aku dengan lelaki pilihannya, berarti ibu bukan aku!



T A M A T

Sabtu, 20 Februari 2010

ESAI SASTRA

SASTRA ANAK-ANAK SASTRA: APA, SIAPA, UNTUK APA.


Oleh.
Teguh Pramono


Ketika ada seorang anak berlatih membaca puisi di rumah, ungkapan yang muncul dari orang tuanya antara lain ‘kamu teriak-teriak seperti tak punya pekerjaan lain’. Lebih sadis lagi, ketika anak itu menentukan pilihan untuk masuk jurusan Program Bahasa di SMA orang tuanya mencaci maki dengan kata-kata ancaman: tidak akan dibiayai, tidak diberi uang jajan, dipondokkan saja dan lain-lain. Sebuah pertanyaan yang mengindikasikan ketidaktahuan dan keraguan orang tua terhadap ‘pelajaran sastra’ adalah pertanyaan untuk apa belajar sastra. Kalau sastra sudah dapat nilai 9 atau 10 terus apa untungnya. Memang rumit bila pertanyaan-pertanyaan itu harus diawab dengan harapan-harapan masa depan yang bersifat materialistis. Lebih sulit lagi ketika ukuran keberhasilan kompetensi ‘pelajaran sastra’ ditentukan dengan angka-angka.
Kalau begitu apa dan untuk apa sastra itu hingga seorang anak (siswa) perlu memperlajarinya? Apakah sastra anak itu benar-benar perlu diadakan? Kalau perlu siapa dan bagaimana yang seharusnya mengadakannya? Anak-anak sendiri atau orang tua yang pernah mengalami dunia anak-anak yang mengadakan? Persoalan-persoalan inilah yang melandasi tulisan yang akan dikembangkan di bawah ini.

APA SASTRA ITU?

Berbicara masalah sastra anak mau tidak mau kita harus kembali pada konsep dasar yang mempertanyaan apa sastra itu. Banyak batasan-batasan dilontarkan orang tentang hakikat sastra. Rene Wellek (tej. 1988) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Beberapa ciri yang menandai perbedaan sastra dengan bentuk seni yang lain diantaranya adalah: (1) sastra merupakan karya imajinatif, (2) sastra mengandung pikiran, (3) bahasa yang digunakan penuh ambiguitas (haram hukumnya untuk karya ilmiah) dan homonim (sama bunyinya tetapi berbeda maknanya), (4) penuh asosiatif dan konotatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga dinyatakan bahwa sastra merupakan bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari) (Depdiknas, 2003).
Subagio Sastrowardoyo (dalam Supa’at, 2008) mengatakan bahwa puisi adalah filsafat, sedangkan roman, cerpen, dan drama adalah psikologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra pada hakikatnya merupakan suatu bidang ilmu yang meneropong permasalah dimensi manusia dan kehidupannya. Lebih jauh, dalam buku ‘Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius’ Supa’at (2008) mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil kesadaran kejiwaan masyarakat, sebagai sejarah mentalitas, sebagai cermin masyarakat, dokumen sosial budaya, serta sebagai sistem pemikiran, sistem pengetahuan yang dihadirkan pengarang dalam menangkap, memandang dan memahami sebuah realitas.
Siti Chamamah Soeratno (Jabrohim (ed.), 2001) menyatakan bahwa istilah sastra digunakan untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahannya. Dengan mengutip pendapat Eco, Chamamah menyatakan bahwa bahasa sastra berfungsi untuk menyampaikan informasi kepada penikmat. Dan, bahasa yang digunakan memiliki ciri unik demi mengotimalkan tersampainya informasi.
Nyoman Kutha Ratna (2003) dengan membandingkan antara sosiologi dan sastra, menyatakan bahwa hakikat sastra adalah subjektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang. Untuk menjelaskan perbedaan tersebut (sosiologi dan sastra), Nyoman membuat ilustrasi bahaw dua orang sosilog membuat karya tulis untuk sebuah objek masyarakat (tema sama misalnya) hasilnya akan cenderung sama. Tetapi, dua sastrawan disodori satu tema hasilnya akan berdeda. Hal demikian menurut Nyoman disebabkan medium bahasa yang digunakan dalam sastra memiliki kemampuan yang jauh lebih luas dalam mengungkapkan masalah karena sifat figuratif konotatifnya.
Berdasarkan batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra sangat erat hubungannya dengan perkembangan psikologis individual dalam hidupnya di komunitas sosial. Jadi, betul yang dikatakan Subagiyo bahwa sastra sangat erat berkaitan dengan jalan pikiran, perasaan, hasil budi daya yang berbentuk atau menggunakan media bahasa. Yang tentu saja karena kodrat manusia itu adalah makhluk sosial sastra itu merupakan produk yang dilahirkan dan dimanfaatkan untuk masyarakat dimana individu tersebut tinggal.

SIAPA ANAK ITU?

Ketika kita bicara anak maka dalam pikiran kita yang terbayang adalah seorang bocah yang lincah, tidak bisa diam, lompat sana-sini, penuh ceria dan penuh rasa ingin tahu. Ketika kita mendengar kata anak yang terbayang adalah kepolosan dan kejujuran yang tanpa beban mengemukakan isi hatinya, terbuka tanpa tedeng aling-aling. Lebih-lebih, bila dikaitkan dengan norma atau adab aturan masyarakat, anak-anak tidak memahami hal itu. Yang mereka tahu adalah meluapkan keinginan hatinya. Apa yang ingin dikatakan atau diperbuat dilakukanlah oleh mereka. Kemudian tiba-tiba mereka tersentak oleh kata-kata ‘jangan’, ‘itu tidak baik’, ‘itu tidak sopan’, ‘kamu harus belajar jadi orang dewasa’ dll. Anak-anak yang polos penuh energi itu tiba-tiba terdiam.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa orang dewasa itu mirip dengan ‘pembenar’ atau semacam ‘aturan’ yang harus diikuti oleh anak-anak. Apa yang diucapkan orang dewasa, yang diperbuat oleh orang dewasa harus ditiru oleh anak-anak. Sebuah adagium tentang keberadaan anak di mata orang tua menyatakan anak secara ekonomi adalah investasi, secara psikologis adalah cermin pribadi, secara politis menjalankan perintah dan instruksi-instruksi, secara sosial adalah martabat, dan secara agama merupakan titipan Tuhan. Ada sebuah pernyataan dalam dunia pendidikan bahwa belajar berarti berlatih menjadi orang dewasa. Dalam ilmu psikologi hal demikian dikategorikan pada sebutan behaviorism. Sebuah aliran yang menganggap bayi lahir sebagai kertas putih dan apa-apa yang ada di luar dirinyalah yang akan membentuk karakter pribadinya. Dan, untuk proses pembentukan itu orang dewasa menghegemoni segala arah dan norma yang harus dianut. Secara dominan orang dewasa benar-benar menentukan semua pertanyaan berkaitan dengan apa, mengapa, di mana/ke mana, kapan, siapa, dan bagaimana norma atau nilai yang harus diikuti oleh anak. Dalam kondisi seperti ini anak-anak dijadikan ‘objek’ mati yang terjajah daya nalar dan rasanya.
Menurut pendapat Paulo Freire (terj. 2002) ketertinadasan itu bentuknya bisa bermacam-macam, misalanya tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya. Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subjek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui.
Dunia anak sudah terbentuk sejak anak masih dalam rahim orang tua (mungkin sejak ruh ditiupkan oleh Tuhan). Sebuah dunia ketenangan dan kehangatan dalam rahim itu tiba-tiba terkoyak ketika seorang bayi itu lahir dan memangislah si anak. Sebuah pertanyaan yang jawabannya berupa praduga adalah mengapa ia menangis. Praduga jawaban yang paling logis adalah anak melakukan reaksi keterkejutan karena dunia ‘kedamaian dan kehangatan’ itu tiba-tiba saja dikoyak oleh orang dewasa. Kalau tidak dikoyak atau terkoyak, menurut ilmu kedokteran itu bisa membahayakan keselamatan ibu dan bayinya. Apakah anak itu protes, tidak puas, tidak mau dikeluarkan dari dunia ‘kedamaian dan kehangatan’ itu? Wallahualam. Yang jelas setiap anak di muka bumi ini, ketika lahir, selalu mengeluarkan suara yang oleh orang dewasa disebut ‘tangisan bayi’.
Bila kita kaji lebih jauh sejak tangisan itu lingkungan yang didiami jadi berubah total. Dan, tentu saja lingkungan itu yang akan ikut membentuk perkembangan daya psikisnya. Banyak penelitian yang meyakini bahwa memang lingkunganlah yang mewarnai perkembangan seorang anak sebagaimana opini-opini yang dikemukakan oleh kaum beavioris.
Perkembangan seorang anak tidak bisa dimaknai hanya dari sisi psikisnya, karena salah satu aspek yang mempengaruhi psikis adalah wujud ‘wadag’ dari tempat psikis itu berkembang. Artinya, tahap perkembangan seorang anak selalu dikaitkan dengan umur, perkembangan fisik dan perkembangan biologisnya. Umur ditandai dengan pertumbuhan fisik maupun psikis. Pertumbuhan fisik dan psikis mengindikasikan perkembangan biologis seorang anak. Ketiga aspek perkembangan ini ‘lumrahnya’ atau normalnya terjadi pada setiap bayi di muka bumi ini. Namun, harus tetap diingat bahwa aspek-aspek pertumbuhan itu masing-masing membawa gen yang beda-beda. Misalnya, ada yang berkulit hitam, berambut keriting, bertubuh tinggi, berbulu banyak dll. Bagaimana asal muasalnya ini bisa terjadi wallahu alam. Sungguh sulit kerja polisi bila DNA semua orang itu sama. Atau, sidik jari tidak ada gunanya bila ‘batik’ tangan itu memiliki pola yang sama. Dengan kata lain anak merupakan totalitas kepaduan antara psikis dan bio-fisik yang tidak mengkin dipecah-pecah.
Dalam buku ‘Psikologi Kritis, Metaanalisis Psikologi Modern’ (Dennis dan Isaac, 2005) mengibaratkan perkembangan seorang anak dengan ‘bayi dan bak mandi’. Bayi dianggap sebagai subjek pokok psikologi, sebagai unit perkembangan, individu yang berkembang. Sedangkan bak mandi merupakan lingkungan sosio-kulturalnya, suatu bentangan pilihan yang mengelilingi atau mendukung tetapi tidak mempengaruhi atau membentuknya secara mendasar. Lebih lanjut dinyatakan dalam buku itu bahwa anak tidak hanya dapat berfungsi sebagai dirinya sendiri, tetapi tergambar sebagai simbol dari diri orang dewasa, proyeksi dari harapan-harapan dan kecemasan orang dewasa. Jadi, anak merupakan totalitas sosio-psikobiofisik lahiriah dan batiniah beserta hal-hal yang melingkunginya.

DESEGRASI TEORI SASTRA BAGI ANAK

Teori-teori sastra yang ada memaparkan ketidakpedulian terhadap seorang anak dalam menikmakti pertumbuhan totalitas psiko-biofisiknya. Semua teori hanya didasarkan pada sisi perkembangan psikis dengan mengangkat berbagai nama kebesaran dari kaum behaviorisme dan kelompok nativisme. Formula pendekatan semacam ini hendaknya perlu dilengkapi dengan upaya penyempurnaan. Seorang anak yang hanya digelontor cerita, puisi atau nyanyian akan menjadi anak yang pincang fisiknya. Bahkan, arah pertumbuhan dan perkembangan biologisnya bisa menyimpang. Mungkinkan sastra anak difomulasikan juga untuk pertumbuhan dan perkembangan biofisiknya? Upaya inilah yang sebenarnya perlu diciptakan. Pendek kata sastra anak diarahkan pada keseimbangan perkembangan ‘jiwa dan wadag’.
Hasil penelitian yang pernah dicobakan kepada sapi telah membuka tabir bahwa dengan musik pertumbuhan fisik dan nafsu biologis dapat dipacu dengan alunan musik. Bahkah, seorang bayi dalam kandungan juga dapat dirangsang kecerdasanya (tentu seiring dengan pertumbuhan saraf yang bersifat fisik) melalui alunan musik. Sastra sebagai sebuah genre yang lebih komplit dari musik (sastra lisan mengandung unsur bunyi, sastra tulis mengandung unsur visual) tentu memiliki potensi yang lebih bila dibandingkan dengan musik yang hanya mengandung satu aspek: bunyi. Dengan predikat sebagai ‘penguasa’ dan ‘pembenar’ segala arah perkembangan anak, orang dewasa laki atau perempuan perlu ‘menceraikan’ istri atau suaminya yang tidak bisa melahirkan ‘anak sastra’ berbasis sosio-psikobiofisik. Orang dewasa laki atau perempuan hendaknya mengawini sosok dengan pertimbangan bibit, bobot, dan bebetnya yang dimungkinkan bisa melahirkan dan menghidupi ‘anak sastra’ yang diharapkan menjadi sosok sastra yang memformulakan kepaduan perkembangan psikobiofisik bagi generasi berikutnya.
Berdasarkan paparan di atas secara implisit sudah tergambar bahwa sastra anak itu sebenarnya merupakan sastra orang dewasa yang disajikan sebagai menu pilihan bagi anak. Dan, dengan menu yang diolah sedemikian itu pada akhirnya diharapkan anak memiliki pola pikir, pola rasa, dan pola raga yang sesuai dengan harapan-harapan orang dewasa. Persoalan berkaitan dengan menu itulah sebenarnya yang menjadi otoritas orang dewasa. Dari bahan apa menu itu akan dibuat? Bagaimana cara menyajikan menu itu sehingga menumbuhkan nafsu untuk mengkonsumsinya? Bagaimana adab aturan cara mengkonsumsi menu itu? Seberapa banyak menu itu harus dikonsumsi? Pertanyaan-pertanyaan inilah sebenarnya yang perlu kita kaji berkaitan dengan sastra anak.
Bila kita lihat teori tentang perkembangan anak, dapat kita temukan ciri-ciri anak sebagai berikut: (1) perkembangan kognitif, (2) perkembangan bahasa, (3) perkembangan moral, (4) perkembangan resepsi sastra anak.
Tingkat perkembangan kognitif anak dipilah menjadi 4 tahapan, yakni tahap (1) sensori motor (lahir-2 th), (2) praoperasional (2-7 th), (3) operasional konkret (7-11 th), dan (4) operasi formal (11 th- …). Tahap perkembangan tersebut dapat diringkaskan dalam tabel sebagai berikut.
(1) Tahap sensori motor (lahir-2 th), anak memiliki perbedaharaan pengetahuan yang dibentuk berdasarkan tanggapan inderawi dan gerak tubuh. (2) Praoperasional (2-7 th), anak memiliki perbendaharaan pemahaman melalui pengembangan kemampuan bahasanya berdasarkan tanggapan inderawi yang bersifat konkret. (3) Operasional konkret (7-11 th), anak telah mampu memikirkan kenyataan lewat perbendaharaan bahasanya dengan melakukan pemilahan dan penentuan waktu yang didasarkan pada pengalaman yang bersifat konkret. Dan, (4) operasi formal (11 th- …), anak telah mampu menyusun persepsi secara simbolik, melakukan proses berpikir secara logis, membuat antisipasi kemungkinan benar/salah secara hipotetis, serta menempuh kegiatan berpikir yang bersifat abstrak.
Sementara itu kalau ditinjau dari tingkat perkembangan bahasanya, menurut teori terdapat anak yang (i) hanya dapat menikmati gambar, (ii) memahami cerita berdasarkan gambar, (iii) memahami cerita berdasarkan gambar dan tulisan, (iv) memahami isi ataupun cerita berdasarkan tulisan saja tetapi belum mampu menafsirkan makna tersirat ataupun gagasan yang bersifat abstrak, dan (v) memahami isi ataupun cerita berdasarkan tulisan saja sekaligus sudah mampu memahami makna tersirat mau-pun gagasan yang bersifat abstrak.
Smith dan Goodman, Rubin (1995). sebagaimaba dikutip oleh Joko Sardjono, terdapatnya sejumlah fase perkembangan bahasa anak yang meliputi tahap: (1) Tahap random, yakni anak hanya mampu mengeluarkan bunyi sampai pada kemampuan me-lakukan babling, misalnya bunyi ma-ma-ma; (2) Unitari, anak menggunakan kata tertentu sebagai representasi kalimat, misalnya, makan sebagai representasi kalimat, Saya minta makan; (3) Perluasan, yaitu tahap penggunaan kata-kata Pivot, sebuah kata yang digunakan dalam berbagai relasi kalimat, misalnya Makan roti, Makan apel, Makan sup, dan sebagainya. (4) Struktural, pada tahap ini anak mampu menggunakan bahasa dalam bentuk kalimat sederhana berpola Subyek-Predikat-Obyek (SPO), misalnya Saya minta roti. (5) Tahap otomatik, yakni anak mampu menggunakan dan mengurutkan kalimat secara sitematis sekaligus sudah mampu mengoreksi kesalahan berbahasanya. Anak juga sudah mulai melakukan internalisasi sistem dan kaidah kebahasaan. (6) Tahap kreatif, yakni anak mampu memahami dan menggunakan kata-kata dengan acuan pengertian yang bersifat abstrak. Anak juga telah mampu membuat ungkapan dan melakukan pemilihan kata dan kalimat secara kreatif.
Teori yang disebutkan di atas ini pun masih berkutat pada pengolahan psikis yang dominan. Kenyataan ini semakin mempertegas bahwa orang tua benar-benar menjadi ’penjajah’ yang menutup bebasnya pertumbuhan dan perkembangan sisi biofisik yang seharusnya juga mendapat perhatian lebih. Perlakuan deskriminatif terhadap totalitas pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi terligimitasi karena teori-teori besar (banyak penganutnya). Layanan hidup utuh dan seimbang diceraiberaikan dengan teori-teori yang parsial dan elementer.

UNTUK APA SASTRA BAGI ANAK?

Bagaimana mengemansipasi pertumbuhan dan perkembangan anak melalui sastra sehingga tidak ada lagi yang tertindas? Untuk menjawab pertanyaan ini Freire angkat bicara dengan berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia. Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Freire yakin bahwa manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.
Dari gagasan Freire ini tersirat bahwa seorang anak perlu diperlakukan sebagaimana manusia secara totalitas, bukan secara elementer yang beku. Eksistensi manusia bukan hanya keberadaannya secara psikis saja tetapi ‘wadag’ juga menentukan keberadaannya dalam kehidupan. Fakta khusus (bisa saja nanti menjadi umum) tinggi badan, bentuk tubuh, wajah, panjang kaki, ukuran pingang, warna kulit, alat kelamin, payu dara sangat menentukan berhasil tidaknya seseorang menikmati ‘kenyamanan dan kedamaian’ hidup di dunia ini.
Dengan demikian, tugas utama pendidikan sastra hendaknya mengantar peserta didik menjadi subyek total lahir dan batin. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial-psikobiofisik yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran harkat dan martabat sosial-psikobiofisik manusia itu berproses secara multialektis (maksudnya arus multiarah dalam radius jangkauan baik secara logis-imajinatif maupun secara kasad inderawi) antara diri subjek dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang, mempengaruhi, dan membentuk lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial-psikobiofisik atau miliu sosial-psikobiofisik tempat ia berkembang. Untuk itulah ‘hegemoni’ dan ‘pembenaran’ sastra anak perlu diarahkan kepada formula emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran dengan melibatkan gerakan ligitimasi sosial-psikobiofisik.
Idealitas sosial-psikobiofisik bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subjek-subjek sosial-psikobiofisik, bukan subjek-objek sosial-psikobiofisik. Guru (orang tua/orang dewasa) sebagai mitra belajar harus terlibat (bersama-sama sosial-psikobiofisik peserta didik) dalam mengkritisi, memproduksi, dan menikmati menu ilmu pengetahuan, menu pelatihan, menu peragaan, dan menu perasaan.
Dengan sastra, anak akan mengalami keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan sebagai manusia utuh yang incomplete and unfinished beings. Sastra tidak hanya dijadikan tenaga penggerak olah pikir dan olah rasa tetapi dapat dijadikan tenaga penggerak oleh raga dan sekaligus oleh raga itu sendiri sehigga secara total akan menjadi penggerak kehidupan sosial-psikobiofisik. Sastra bukan hanya mencekoki anak dengan instruksi verbalistik untuk dominasi dan hegemoni, sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo tetapi juga harus bisa membebaskan deskriminasi perlakuan elementer kemanusian lahir batin. Jika sastra dipahami sebagai aksi sosial-psikobiofisik untuk pembebasan, maka sastra tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area kognisi, afeksi, pasikomotorik tetapi harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan generasi yang lebih demokratis secara sosial-psikobiofisik sebagaimana pernyataan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Sastra harus berkaitkan padu dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, sastra bagi anak merupakan formula bukan saja dialektika tetapi multialektika antara teks sosial-psikobiofisik dan konteks sosial-psikobiofisik, teks sosial-psikobiofisik dan realitas lahir batin yang utuh.

Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibu kota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
Atau apa saja,
Bila pada akhirnya,
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi”
W.S. RENDRA, 12 Juli 1975

Jumat, 19 Februari 2010


SENI SEBUAH IMPLEMENTASI KEHIDUPAN YANG SEIMBANG
(SEBUAH KOREKSI TERHADAP DIKOTOMIS MATA PELAJARAN MATEMATIK DAN MATA PELAJARAN SENI)






Oleh Teguh Pramono

Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (Prinsisp penyelenggaraan pendidikan, UU Sisdiknas Bab III, pasal 4)

Banyak jargon-jargon yang bertebaran di depan mata dan di sisi telinga kita, yang memancarkan berbagai persoalan seni. Ada yang mengumandangkan bahwa hidup tanpa seni akan terasa gersang dan kerontang. Ada yang mengatakan bahwa seni adalah penyeimbang hidup. Ada pula yang mengatakan bahwa seni adalah tipuan-tipuan belaka, dunia maya yang tak mampu memberikan suntikan gizi secara ekonomis. Bahkan, secara ekstrim ada yang menolak dengan mengembangkan slogan bahwa seni itu candu, racun yang akan membius generasi hingga lupa daratan, melenceng dari norma nilai yang berlaku di masyarakat. Pendapat-pendapat ini tidak salah. Beberapa kasus yang muncul menujukkan hal itu. Misalnya, orang tua (termasuk guru) tidak mendukung, bahkan sampai mengancam anak-anaknya (siswanya) agar tidak mengikuti kegiatan seni. Hal demikian disebabkan adanya pengalaman traumatic. Salah satu contoh generalisasi naïf yang pernah dikemukakan oleh seorang wali murid dapat diilustrakan sebagai berikut
“Kamu mau jadi apa tiap hari jrang-jreng, ngak, ngik, ngok, gruduk sana gruduk sini, tidak ada jluntrungannya. Mau jadi anak jalanan, pemabuk, pengamen eceran!”
Begitu kata wali murid (termasuk orang tua) ketika melihat anaknya mulai akrab bergaul dengan seni. Sungguh memprihatinkan! Seni telah diposisikan pada tataran marginal, dianggap tidak terlalu perlu untuk disemaikan dalam jiwa anak. Kedudukan iptek dipandang lebih utama, dianggap lebih luhur, dan dikedepankan.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah : (1) mengapa orang tua pada umumnya cenderung antipati terhadap seni? (2) Apa sebenarnya yang disebut seni sehingga orang tua sangat khawatir bila anak-anaknya masuk ke dunia itu?, (3) bagaimana sebaiknya hidup dalam dunia seni?. Pada kesempatan ini penulis berupaya menawarkan beberapa alternatif jawaban.

Kenderungan antipati orang tua terhadap seni.
Bebebrapa pengalaman traumatik yang dialami orang tua berikut mungkin bisa dijadikan faktor penentu. Ada seorang anak pada suatu malam Minggu dijemput temannya. Sampai larut malam anak itu belum pulang. Sebagai orang tua tentu tidak bisa membiarkan keadaan ini sampai berlarut-larut. Akhirnya, si orang tua bermain intel. Selidik punya selidik ternyata anaknya setiap malam Minggu nongkrong-nongkrong, ngejrang-ngejreng gitar di teras-teras pertokoan, trotoar-trotoar sambil minum-minuman keras. Konfliks pun tak bisa dihindari. Sang anak berupaya mengemukakan argumen-argumennya agar tidak tersudut. Sementara sang orang tua tidak mungkin menahan-nahan rasa kalau ia melihat dengan matanya sendiri. Berdasarkan pengalaman inilah sang orang tua melakukan generalisasi bahwa seni identik dengan nongkrong-nongkrong, minum-minuman keras, keluar malam dan tafsiran-tafsiran negatif lainnya.
Ada lagi, seorang siswa nilainya merosot gara-gara ikut ekstra seni. Belajar mata pelajaran lain terbengkalai, amboradul. Menyusul munculnya dikotomis berpikir, ‘ buat apa berkesenian kalau nilai matematikanya jeblok.’ Aneh, matematika dipertentangkan dengan dengan kesenian. Dan, lebih aneh lagi matematika diposisikan lebih utama, lebih penting, lebih menjanjikan masa depan. Untuk itu, seni harus dipinggirkan lebih dulu. Nah, dari pengalaman-pengalaman traumatik inilah sebenarnya yang memicu kecenderungan orang tua pada umumnya membatasi, menghambat, bahkan sampai melarang dan mengancam anak-anaknya bergaul dengan kegiatan kesenian.
Sejatinya, kalau dikaji lebih mendalam, kekurangarifan pembuat kebijakanlah yang paling bertanggung jawab terhadap persoalan semacam ini. Mengapa matematika dijadikan pelajaran UNAS sementara seni tidak. Mengapa mata pelajaran matematika dianggap standar kelulusan NAS sedangkan seni tidak. Berbagai argumentasi teoritis membekengi semua itu. Mulai dari sarjana anu sampai Profesor Dr. Anu. Mulai dari pakar Anu sampai pakar Anu ‘berkomplot’ bahwa matematika itu hal mendasar yang paling utama. Ironis sekali!
Mari kita mengulur nalar. Mari kita menggelar nalar kritis kita. Benarkah matematika (termasuk juga ilmu pasti yang lain) itu mata pelajaran yang lebih utama? Benarkah orang tidak akan bisa sukses dalam hidupnya karena tidak lulus UNAS matematika? Benarkah ilmu pasti itu faktor utama dimulainya hidup seseorang? Tidakkah kita ingat bahwa non-logika (nonmatematis, nonkepastian) yang justru kerap muncul dan kita lakoni setiap hari. Beberapa pertanyaan yang sering kali di luar jangkauan logika matematis misalnya, (1) mengapa kita punya lubang hidung dua? Tidak empat atau yang lain?. (2) Mengapa kita dilahirkan sebagai perempuan ,laki-laki, atau waria? (3) Mengapa pula kita mesti lahir tidak di zaman purba saja? Kalau pertanyaan-pertanyaan ini dijawab hanya dengan mengandalkan ilmu pasti matematis, bisa-bisa kita akan terjerumus. Dan, ketidakpastianlah yang akan muncul karena setiap orang akan mengemukan jawabannya berdasarkan tingkat keyakinan dan kemantapan hatinya masing-masing.
Berbeda dengan gagasan itu. Seorang pencetus gagasan Emosional Question (EQ), dengan hasil penelitiannya yang dilakukan selama sepuluh tahun mencoba mendobrak opini dan pandangan usang itu dengan mantap. Dia adalah Daniel Goleman. Dikatakan oleh Goleman bahwa belahan otak manusia ada dua, belahan kiri digunakan untuk berpikir dengan cara urut, bagian per bagian dan logis. Sementara otak kanan melengkapinya dengan cara berpikir acak, holistik, dan kreatif. Dan, bahwa kesuksesan dan kebahagiaan manusia ternyata lebih ditentukan oleh beberapa jenis kecerdasan selain IQ. Setidaknya 75% kesuksesan manusia lebih ditentukan oleh kecerdasan emosionalnya. Dan, hanya 4% yang ditentukan oleh IQ-nya (Agus Nggermanto, 2003).
Kecerdasan emosional menurut Daniel Goleman terdiri dari kecakapan pribadi (keadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi) dan kecakapan sosial (empati dan keterampilan sosial). Dengan demikian runtuhlah legenda IQ yang sempat mebeku sekian puluh tahun di benak semua orang. Intelek manusia bukan hanya kemampuan aritmetis, logis dan verbal saja. Intelek manusia jauh lebih luas dari sekedar IQ. Bahkan, mungkin potensi intelek itu seluas dan sedalam samudra, yang belum ditemukan. Perlu diingat bahwa pola berpikir matematis, urut, bagian per bagian, dan logis itu berada pada tataran otak kanan. Anehnya, di sekolah, kita biasa dituntut untuk berpikir urut dan logis mulai dari pagi hingga sore hari. Ini artinya setiap menit, setiap hari sampai bertahun-tahun lamanya kita tidak dibiasaan menggunakan otak kiri (termasuk jenis kederdasan yang lain). Dan, lebih ironis lagi ini terjadi karena sistemnya menghendaki begitu. Bahkan tragisnya semua orang sungguh mengagungkan IQ. Sampai-sampai untuk menghidupi IQ tega menguras semua dana. Sementara itu, untuk menghidupi kecerdasan yang lain begitu penuh perhitungan dan cenderung bersikap medit.
Sebagai bahan perenungkan dapat disbanding antara biaya UNAS dengan pergelaran seni (dikotomi biaya menghidupi otak kanan dan otak kiri). Secara sentralisitk biaya UNAS sudah ditentukan sampai milyaran. Konon biaya ini untuk membiayai seluruh kegiatan UNAS yang hanya 5 mata pelajaran saja: Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Ekonomi, dan Bahasa Asing. Dan anehnya soal yang dibiayai sebesar itu hanya membatasi pada soal pilihan ganda, yang hanya lima option( untuk tingkat SLTA). Seluruh siswa secara Nasional dihimpit dalam lima pilihan saja. Dan, hanya satru pilihan yang paling tepat. Biaya sebesar itu hanya untuk melatih siswa memilih satu jawaban dari lima pilihan yang sudah disiapkan. Dalam hal ini, siswa tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan berfikir kreatif, keberanian berdebat, bahkan kegiatan inovatif sama sekali tidak ada. Kalau kita kembali kepada hasil penelitian Golemann, rasanya ada yang segera perlu dibenahi sehubungan dengan sistem UNAS ini (termasuk di dalamnya sistem UNAS bidang Seni). Rasanya tidak adil kalau otak sebelah kiri dibiayai dengan begitu besar sementara otak kanan hanya dijadikan pelengkap saja. Kalau hal ini tetap dipertahankan jangan disalahkan bila suatu saat generasi kita hidupnya menceng, berat sebelah.
Atau, dengan ekstrim lebih baik mata pelajaran yang lima itulah yang sejak kelas satu diberikan. Kasihan siswa bila hanya dijadikan objek terus-menerus. Beberapa persoalan UNAS Yang naskahnya disiapkan oleh sekolah menunjukkan hal demikian. Dapat dilihat dari sandiwara pergelaran Ujian Sekolah yang terkesan main-main saja, karena ada ujian yang lebih menasional. Bagaimana tidak main-main kalau dari sisi wacana saja Ujian sekolah sudah diposisikan pada sisi marginal (dari biaya, dari model soal yang tidak dibuat secara professional, dan bahkan hasil koreksinya pun bisa dibuat-buat karena toh diberi nilai objektif berarti memamerkan aib kinerja yang tidak bermutu).
Lalu bagaimana solusinya? Ya, semua mata pelajaran sebagai penopang tumbuh suburnya kedua belah otak itu harus diperlakukan secara adil (ingat prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah ‘demokratis, berkeadilan, dan tidak deskriminatif). Dengan demikian cita-cita dan tujuan pendidikan dapat diwujudkan, bukan hanya kata-kata dan peraturan verbalisme belaka. Perlu ada keadilan dalam memperlakukan mata pelajaran, siswa, guru, dan konponen pendidikan yang lainnya.
Jadi, dapatlah dikatakan bahwa demi keseimbangan hidup perlulah seni ditumbuhkembangkan, dilatihkan, dan disemaikan dalam jiwa seluruh umat. Dan lebih penting lagi seni ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan mata pelajaran yang lain. Ingat, melalui senilah unsur kehalusan budi dapat ditumbuhkan, melalui seni otak kanan dapat dilatih secara optimal. Melalui seni pula belahan otak kanan dapat berkembang secara harmonis dan seimbang. Dan, dengan seni pula karsa (motivasi), karya (psicomotor act) dapat tercipta. Hal ini dapat dipahami karena seni merupakan ekspresi dari berbagai jenis intelligence (rasa, cipta, dan karsa) pelakunya.

Apakah Seni Itu?
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poewodarminto, 1982: 916) seni adalah: (1) kecakapan membuat (menciptakan) sesuatu yang elok-elok atau indah; (2) sesuatu karya yang dibuat (diciptakan) dengan kecakapan yang luar biasa, seperti sajak, lukisan, ukir-ukiran dsb. Indah dalam pengertian ini adalah elok, bagus, benar, mahal harganya, sangat berharga. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa seni itu masuk dalam dua ranah, yakni ranah batin dan ranah lahir. Ranah batin berupa nilai-nilai, ide, gagasan, kehendak, perasaan, atau apa saja yang sifatnya lebih tersebunyi di balik kekonkritan bentuk lahirnya. Sedangkan ranah lahir adalah apa-apa yang dapat disentuh dengan pancaindera (rupa, suara, gerak, ujaran, atau campuran dari itu semua).
Dengan mencermati arti leksikal ‘seni’ ini, rasanya sungguh naïf jika seni diposisikan di pinggiran jalan raya mata pelajaran. Seni bukan hanya mengaktifkan belahan otak kiri saja, tetapi mencakup belahan otak kanan (untuk tataran ide, konsep, nilai , kehendak dll). Seni bahkan mencakup ranah sikap bertindak, dan mewujudkan ‘eksistensi’ pelakunya.
Contoh yang lebih menjelaskan hal itu adalah sebagai berikut. Kita akan menciptakan jenis karya seni tari. Tarian itu menggambarkan petani yang bekerja di tengah sawah pada masa tanam. Hal pertama yang kita lakukan adalah mengamati segala sesuatu yang nampak di sana. Mulai dari gerak-gerik yang dilakukan, latar alam yang membelakanginya, suara-suara yang muncul, bau-bau yang mungkin menyentuh hidung. Bahkan, di luar itu semua kita sering kali melakukan wawancara untuk menangkap etos kerja, budaya, dan juga keyakinan-keyakinan yang bersemayam dalam hidup dan kehidupan mereka. Dalam hal ini kecakapan emosional, kecakapan adversitas, kecakapan intelek, kecapakan spitual amat dibutuhkan oleh sang seniman.
Hasil tangkapan kegiatan pertama ini kemudian dimasukan dalam laboratorium yang berupa otak untuk dikaji, dihitung-hitung, ditata hingga membentuk desain garapan bentuk lahir tari jadi (dalam hal ini kecerdasan yang berkaitan dengan berpikir runtut, bagian demi bagian, dan kelogisan sangat dibutuhkan). Kalau toh matematika itu adalah melatih dasar-dasar berpikir logis di sinilah posisinya. Kemudian setelah desain garapan jadi, maka pertimbangan nilai-nilai dan norma-norma kemasyarakatan dijadikan syarat utama dalam penyuguhannya. Pertimbangan apa yang dapat disumbangkan kepada khalayak dengan bentuk tari itu. Apa pula yang didapat dari pelaku-pelaku seni yang terlibat. Dalam hal ini semua aspek kecerdasan dapat terlibat secara langsung: IQ, EQ, SQ, Sosial Quotion, Advertance Quotion. Nah, apa masih ada keraguan kalau seni juga di-UNAS-kan?

Bagaimana sebaiknya hidup berkesenian?.
Idealnya hidup dalam dunia seni sama dengan hidup lumprahnya manusia. Manusia diciptakan mengemban amanat Sang Pencipta. Tugas utama manusia adalah menebarkan kedamaian dan menyejahterakan sesamanya. Untuk bisa melaksanakan tugas itu maka daya pikir, daya rasa, dan potensi raga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam garis-garis besar haluan Tuhan. Jangan sampai melakukan penyelewengan-penyelewengan. Sudah digariskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional sebagai berikut
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang martabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab .
Yang jadi persoalan sekarang adalah bagaimana mengetahui kemajuan dan hasil yang menujukkan kepada mutu yang diharapkan, terutama berhubungan dengan kemajuan keimanan dan ketaqwaan, kemajuan akhlak mulia, kemajuan kesehatan, kemajuan kecakapan, kemajuan potensi kreativitas, kemajuan kemandirian dan nuansa demokratis.? Tentu jawabannya dengan melakukan evaluasi (pengukuran) dengan menggunakan intrumen dan alat yang tepat. Tepat artinya alat itu dapat berfungsi sesuai dengan hal/materi/mata pelajaran yang akan dievaluasi (diukur), tidak secara serampangan (ambil enaknya saja). Misalnya, kalau toh sebuah bentuk soal tidak mungkin digunakan untuk mengukur sebuah kemajuan yang diharapkan tidak usah dipaksakan, dicarikan argumen yang melegalkan tindakan itu.
Pada dasarnya kita diberi sesuatu untuk dapat memberikan sesuatu yang mungkin lebih bermanfaat, lebih dibutuhkan, lebih indah atau lebih-lebih yang lain (prinsip take and give). Kalau begini kenyataannya, maka generalisasi naïf yang tanpa menggunakan nalar logika objektif, justru akan menciptakan distorsi nilai yang berdampak pada kaburnya mutu ajaran nilai yang seharusnya ditanamkan kepada seluruh umat manusia (siswa-siswa).
Satu contoh distorsi tersistem dan disistemkan mewabah dalam sistem evaluasi pendidikan (di sekolah). Ambil saja penilaian di akhir semester. Mata pelajaran seni dalam kegiatan evaluasi cenderung diposisikan bagai sebuah timun ungkuk busuk lagi, sehingga tak tersentuh perencanaan, apalagi pendanaan. Parahnya lagi, dinas berwenang yang terkait dengan kegiatan ini tidak pernah (kalau tidak boleh dikatakan jarang) melakukan perombakan inovatif ke arah yang lebih maju. Mungkin ini disebabkan oleh terlalu lamanya mereka hidup dalam kungkungan rezim multiple chois. Ini membuktikan bahwa mata pelajaran seni hanya dijadikan pajangan yang menebeng hari peringatan tertentu tanpa mutu apresiasi yang baik. Bagai rumput ilalang di pinggir jalan raya yang tak dihiraukan oleh penumpang kendaraan. Bahkan, kalau perlu digilas saja. Sebuah alasan yang cenderung emosional sering dilontarkan adalah apa mungkin seni diujikan dengan sistem komputerisasi?
Pernyataan ini sungguh tidak logis (nirlogika). Mengapa lagi-lagi seni dikalahkan oleh sistem evaluasi dengan hasil teknologi yang konon hasil proses kerja logika. Kalau ini terus berlangsung tamat sudah riwayat seni. Mulai saat ini harus segera ditanamkan dan dibijakkan bahwa seluruh ranting cabang ilmu dan hasil karya mempunyai ciri khusus dalam hal bentuk, materi, dan cara memperlakukannya. Kalau semua bidang harus diukur dengan alat yang namanya komputer, yang konon canggih itu, ini namanya tidak adil, tidak objektif, bahkan tidak logis. Bagaimana mungkin pelajaran seni diujikan dengan sistem pilihan ganda? Sepertinya hanya ilmunya saja (ranah kognisi) yang mungkin. Kalau kita mau fairplay sudah saatnya kita memperlakukan semua mata pelajaran sesuai karakternya masing-masing, tanpa mengalahkan satu dengan yang lain. Kalau suatu mata pelajaran tidak mungkin diujikan dengan korektor komputerisasi, ya sebaiknya dikembalikan kepada sistem dan teknik yang cocok. Tidak perlu memaksakan sesuatu yang memang tidak sesuai. Dan, sistem perencanaan, penganggaran, dan pendistribusian standarisasi minimalnya sebaiknya juga dicarikan solusi.
Nah, beginilah seharusnya hidup berkesenian. Kita harus dapat memperlakukan seni sebagaimana kita memperlakukan makhluk lain. Ayam tentu tidak mungkin bisa disamakan dengan kambing atau kerbau. Kita sebagai pengemban amanat dalam Garis-garis Besar Haluan Tuhan perlu mencurahkan daya upaya untuk menyejahterakan dan mendamaikan mereka. Begitu juga sebaik dan sebaliknya, apabila mereka damai dan sejahtera secara langsung atau tidak langsung dampak ekologi-biologis dan psikologi-fisikalnya dapat kita rasakan. Dengan demikian maka fungsi dan tujuan pendidikan sebagaimana termaksud dalam UU Sisdiknas akan dapat terwujud, bukan hanya dibibir saja.


Sebuah hari renungan: aku masih ingin hidup
Demi sebuah utopia yang illusif
Entah di mana, entah kapan
Tapi hari kepastian telah memperhitungkan
Hidup memang ada alasan
Dan itu tak mungkin kumiliki sendirian