TEGUH PRAMONO GURU PEMBELAJAR


Sabtu, 27 Februari 2010

CERPENKU

BERDIRINYA MONUMEN DI SUATU REPUBLIK
Oleh Teguh Pramono

“Mestikah sebuah buah cinta kasih seorang perempuan dengan seorang laki-laki adalah seorang bocah yang keluar dari rahimmu? Selama kau menjawab ‘pasti dan harus’, maka berarti cintamu, bukanlah cinta yang suci, yang tumbuh dan bekembang dari hati nurani terdalam, tetapi cintamu padaku hanyalah cinta palsu, cinta yang kau berikan adalah cinta yang berbeban karena kau akan malu dituding orang sebagai perempuan yang mandul. Kita akan kesepian, memang. Tetapi apakah cintamu akan luntur lantaran dalam rumah ini tak ada seorang bayi yang dapat kau gendong, kau timang? Seharusnya kau tidak begitu istriku kalau kau memang cinta padaku. Dan, kalau memang cintamu itu cinta yang suci.”
“Mas, rumah kita akan gersang tanpa seorang bayi yang akan meneruskan dan melestarikan nama indah kita berdua. Yang akan menulskan nama kita pada jahgad ini setelah kita tiada.”
“Betul kau! Tetapi tidakkah kita bisa mengadopsi atau membeli anak dari luar negeri yang saat ini sedang murah-murahnya.”
Istrinya tidak menjawab. Istrinya Cuma termenung karena kalau mengadopsi atau membeli anak itu berarti merendahkan martabat manusia sejajar dengan barang konsumsi yang lain. Sebuah pikiran gila. Gila nama karena nama yang disandang anak itu nama pembelian orang tuanya saja. Dan hanyalah nama yang maya, tak punya eksistensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Istriku! Bagaimana? Jangan diam saja! Kalau kita sepakat dan mengakui bahwa cinta kita suci pastilah hal ini bukanlah hanlangan bagi kita untuk mangubur cinta kita secara bersama-sama dan membawa ke hadapan-Nya nanti. Kita dapat berkata kepada Tuhan nanti bahwa kita hidup rukun di dunia ini.”
“Mas, ternyata kau laki-laki yang gila nama,” kata istrinya.
“Apa? Gila nama? Apa maksudmu?”
“Kamu berlagak bodh! Bukankah hal itu berarti kau telah menginjak kepalaku dengan kakimu yang penuh tahi?” kata istrinya agak jengkel.
“Istriku, aku benar-benar tak mengerti arah pembicaraanmu! Bukankah tadi kau mengatakan bahwa kita butuh masa depan yang bahagia. Ada yang merawat. Apakah kau tak menyadari bahwa aku tidak mampu membuahi kamu, menganugerahi anak kepada bumi. Dan itu adalah baik karena belum tentu kita mampu mengurus anak dengan baik. Biaya anak itu mahal apakah tak kau mengerti! Kita wajib mendidik, menyekolahkan, membelikan baju, memngisi hatinya dengan nilai-nilai moral, menjaga agar tetap sehat dan tumbuh menjadi makhluk yang berguna.”
“Mas, ternyata kau secara tidak langsung meremehkan dan mengganggap tetangga-tetangga kita ini, lingkungan kita ini tidak memberikan peluang hidupnya seorang anak ke araha yang lebih baik. Artinya kau telah menganggap semua jelek.”
“Bukan begitu yang kuharap dengan tindakan kita ini. Tetapi, demi membantu anak itu juga, demi masa depannya juga. Coba lihat kehidupan di luar sana! Penuh dengan kekerasan, anarkhi, kebiadapan, dan tindakan-tindakan yang tidak memungkinkan seorang bayi akan terlepas dari pengaruh jeleknya.”
“Heh! Ternyata kau juga berniat tidak suci pada anak yang akan kau ambil atau beli. Bukankah anak itu juga akan meneruskan jiwa orang tuanya. Dia juga ingin hidup bebas seperti kita saat ini. Saat yang paling tak aa ikatan. Kau berbuat semampumu dan sekuat tenagamu. Aku pun berbuat sekeras-kerasnya, sepuas-puasnya tanpa ada orang lain yang mengganggu, karena…karena… sesungguhnya gerakan inilah yang lebih bebas kita lakukan daripada gerakan pikiran kita,” kata istrinya sambil mengekspreikan puncak kenikmatan percumbuan.
“Tidak! Aku membeli atau mengambil anak itu karena aku ingin menolong .“
“Mas, kau bohong pada hati kecilmu! Juga pada istrimu. Ternyata apa yang kau katakan penuh dengan kontradiksi dengan apa yang sebenarnya dan seharusnya kau katakan. Bukankah kau telah membeani anak itu agar nanti mau merawat kita di kala kita telah jompo atau renta tak berdaya? Kau mengukur diri anak itu dengan takaran kebudayaan dan kebiasaanmu. Kau tidak berpikir tentang kemampuan dan latar anak yang akan kau ambil atau beli itu. Kau akan melakukan perkosan, Mas! Jangan lakukan itu semua. Jangan, Mas! Jangan!’” jerit ringkik kuda istrinya di saat terhentak menahan hempasan puncak nafsu birahi.
“ Pantas saja ini kulakukan karena dia kutolong. Dan, ini kurasa wajar,” kata suaminya sambil membenahi sarung pembalut nafsu lelakinya yang terakhir.
“Lho, kok begitu?” kata istrinya.
“Jelas, to! Kalau kita mengeluarkan banyak, yang masuk juga harus banyak. Imbang, kan. Buktinya yang baru saja kita lakukan ini. Tenaga kita banyak terkuras, tetapi impas dengan kenikmatan yang di raih tidak dapat diganti dengan hal lain.”
“Kalau begitu, ana yang kau katakan, kau gembar-gemborkan dengan niat ikhlas dan suci? Mana, Mas?. Betulkan? Kau telah berbohong dengan hati kecilmu sendiri. Ternyata pertolongan Cuma kata-kata yang keluar darimulutmu yang sebenarnya bukanlah kebenaran yang ada di hatimu. Kau sama saja dengan ibu tiriku dulu. Dia merampas kebebasanku. Dia telah menjual aku ke hadapan laki-laki yang konon selalu diberi sebutan agung dengan kata ‘SUAMI’ itu.”
“tutup mulutmu! Kau menghina aku. Kau telah menyinggung peraaanku. Bukankah hidup ini wajib tolong-menolong? Kan, sudah selayaknya kalau anak itu naanti kutolong dan ia menolongku’” bentak suaminya.
“Mas, mana bisa di menolongmu dari dosa-dosa yang telah kau perbuat? Dia bukan pribumi. Dia bukan anak kandung. Dia kan anak dari luar negeri mana mau mengangkat diri kita sementara di negerinya sendiri masih banyak yang harus dikerjakan, termasuk mendoakan orang tua kandungnya sendiri dan membebaskan diri dari lingkunganan jahatnya. Dan, apa yang kita bicarakan ini kan Cuma masih rencana. Belum nyata adanya. Kenapa kamu kok ngomong dengan urat leher sekasar itu.”
“Rencana adalah program yang harus dilaksanakan. Rencana adalah konsep. Dan konsep itu berada di otak. Kalau kau tidak menerima akan pendapatku tentu saja aku akan mempertahankan dengan argumen-argumen yang mendukung.”
Yah, sudahlah semua itu tak usah diperpanjang. Toh, kenyataannya, kita hanyalah bisa menerima saja ketentuan dari Tuhan.”
“Apa? Tuhan? Sejak kapan kau telah mengenal Tuhan? Kamu tak usah berkelit dengan membawa nama Tuhan. Apakah kau lupa dengan nama suami dan nama istri yang kita sandang sekarang ini. Kau adalah istri-istrian dan aku suami-suamian. Namun, itu semua tak kan dihiraukan orang dan tak juga akan diketahui orang. Penulis cerita ini pun tidak akan tahu tentang kita dan hidup kita ini.”
“Mas, ternyata uniamu sekarang telah jauh dengan duniaku. Berapa tahun kau hidup? “
“Kira-kira telah tiga puluh tiga tahun sejak lahir.”
“Sudah lama juga. Tapi, kenapa kau tak berkembang? Mlah mengalami kemuduran mental.”
Apa katamu? Mentalku mundur? Lancang benar kau sekarang! Dengan terus terang telah berani berkata kasar! Apakah kau tak menyadari bahwa ini semua kita lakukan atas dasar cinta. Kau suka dan aku suka. Dan karena rasa itulah kemudian kita saling menyetujui istilah suami dan istri ini. Apa kau lupa?”
“Aku sama sekali tidak lupa. Aku masih ingat dan masih bening semuanya itu di hati ini. Namun, sekarang semua sudah beda. Waktu telah mengubah semuanya. Pikiranku pun berubah. Untuk itu bisa saja aku akan mengelak segala jani-janji palsu. Janji yang tidak dikuatkan oleh bukti hitam di ata putih. Janjimu palsu! Kau mengguna-gunai aku dan main sekongkol transaksi keperawanan dengan ibu tiriku. Kau penjahat! Pembohong! Kau setan! Aku akan kembali kejalanku! Ke jalan yang telah kau telikungkan ke arah ketidakpastian. “
“Palaagh! Plagh! Bug! Bug ! Plaaar!”
Suaminya tiba-tiba mengamuk tak terkendali menghajar istrinya. Darah segar membasah, mengalir di lantai, yang entah sejak kapan lantai itu menjadi saksi bisu diskusi cinta mereka berdua.
Diam kaku beberapa saat. Tegang mencekam mengurung. Letupan-letupan amarah menghempas-hempas kegersangan nurani. Mata suami itu terbelalak seketika menydari apa yang terjadi. Tak percaya dengan malam yang terkutuk meremas-remasnya. Istrinya dipeluknya. Mencoba mengangkatnya. Namun tidak jadi karena darah semakin menggenang menutup pori-pori lantai.
Malam semakin melarut dengan sunyi. Deru kipas angin masih terus bergemuruh. Suaminya nampak memutar pikirannya. Matanya nyalang ke sana ke mari. Beberapa saat kemudian mendekati kipas angin. Cepat-cepat kipas angin diambil dan didekatkan kepada istrinya. Kedua tangan istrinya digerak-gerakkan ke ata dan ke bawah. Rupanya suaminya memcoba memberikan pernafasan buatan. Namun, usahanya itu tidak memberikan hasil karena istrinya tidak bereaksi sama sekali. Suaminya mulai dihinggapi keresahan. Sebentar berjalan menjauhi istrinya, sebentar berikutnya mendekati, memeluk, membelai, menanyai, menciumi. Hal demikian dilakukan berulang-ulang seperti tidak jelas arah dan tujuannya.
Jam dinding berdentang dua kali. Malam melarut sunyi. Sesunyi deru kipas angin yang berputar sendirian. Tiba-tiba suaminya melonjak tinggi-tingi. Mulutnya nampak berkomat-kamit. Matanya sering kali melotot bila secara kebetulan hinggap pada sesuatu benda yang entah tidak jelas apa yang dipiirkan. Dan, kali ini juga begitu. Menatap tajam ke sebuah bentangan dinding kamar.
“Bangsat! Kurang ajar!” Suaminya mengumpat entah kepada siapa. Nafasnya nampak tersengal-sengal. Gerahamnya bergeretak-geretak menggigit giginya sendiri. Kemudian tatapan matanya itu berpindah ke istrinya yang diam beku di lantai. Entah berapa lama mata itu terpancang kepada tubuh istrinya.
Jam setenga dua malam. Diding kamar remang kelabu melarut sepi. Sesepi kipas angin yang menderu sendiri. Entah mulai kapan, tatapan mata suaminya sudah mulai meredup. Kecemasan berputar-putar menggelayut suaminya. Suaminya mletakkan tangannya di kening istrinya. Tangan itu meraba-raba hidung istrinya. Telinganya ditempelkan pula ke hidung istrinya.
“Tidak! Tidak! Aku harus bertanya tentang makna tolong-menolong ini kepada orang yang lebih paham. Aku tidak mau istriku kecewa karena konsepnya aku tolak begitu saja tanpa komparasi opini. Tidak! Tidak! Aku tidak berdosa!” kata suaminya sampai entah berapa kali. Yang jelas dentinagn jarum jam masih terus terdengar ketka suaminya teridur pulas di atas ranjang.
Jam dua kurang spuluh menit, suaminya bngun. Dia melangkah mendekati meja. Diambilnya kertas dan ball poin. Ia menuliskan sesuatu di kertas itu. Tulisannya sperti tertera di baah ini.

Untuk kau, yang menempuh pejalanan diam sepanjang waktu

Aku mencintai kamu
Di saat butir-butir embun memeluk daun pagi
Saat baskara beranjak dilela angin dari nyenyaknya
Dan di saat burung-burung bercanda dengan senja lucu
Dari lugumu
Terpaut cinta di dada

Aku mencintaimu
Cinta mawar pagi berembun
Cinta sedap malam
Cinta kemboja putih dini hari
Istriku, aku masih sayang kamu walaupun aku tak bisa memberimu seorang bayi dan aku telah berbuat dosa bersamamu. Berdosa pada dunia serta berdosa pada alam. Dan, pada akhir pertemuan kita malam ini, aku mohon maaf atas semuan dosa yang telah kuperbuat. Marilah kita lebur dan hanyutkan istilah suami dan istri yang telah kita rajut ini ke dalam aliran arus malam agar dosa kita tak berlanjut sampai ajalmu dan ajalku.

Dari aku, yang menunggu arus malam

Kertas itu dilipat tiga mamnjang dan diletakkan menyilang di tas kening istinya. Suaminya bersimpuh di sisi istrinya. Suara tangisnya menderu diantara pusaran kipas angin hingga rapat-rapat menenuhi ruangan. Suaminya dilanda kecengengan. Wajahnya layu. Wajahnya kuyup oleh air mata. Dan malam semakin pekat melarut sunyi.
Jam dua kurang tiga menit. Suaminya berjalan tak tentu arah. Semua sudut ruang yang semakin sempit menghimpit dijelajahi. Seluruh sisi ruang juga telah lumat dipandangin. Pada suatu kesempatan, tangan sebelah kanannya mengepal kencang dan dibentur-benturkan pada telapak tangan kirinya.
“Kriiing! Kriing! “ jam berdenting dua kali. Suaminya melompat terkejut. Matanya dengan tajam menghujam ke jam dinding itu. Kemarahannya meledak. Jam dinding dihempaskan dengan umpatan kasar. Dia berteriak-teriak, berlari-lari berupaya membuka kamar yang terasa semakin menghimpit. Namun, rupanya kamar tidak memberi kemungkinan unutk keluar. Semua jendela dan pintu terkunci rapat.
Malam masih merajut sepi. Suaminya terkunci dalam kepengapan kamar seipi amis darah istrinya. Sambil terus berteriak semua barang yang ada dalam kamar itu dibantingi dan dihempaskan penuh dengan keencian. Entah apa yang dibenci.
“Tolong…! Tolong! Tolonglah aku! Aku tidak mau dibelenggu seperti ini. Aku ingin berlari! Aku tak kuat dengan penyiksaan seperti ini! Tolonglah! Bukalah pintu ini!”
Teriakan itu begitu kuat dan kerasnya sehingga orang-orang pada terbangun. Ruangan itu kini menjadi pusat perhatian massa. Orang-orang mengira ada ada perampokan atau pembunuhan. Kontan semua orang siap dengan senjatanya masing-masing. Ada yang membawa senter, obor, ada yang membawa parang, pentung dll. Setiap teriakan terdengar kerumunan orang bagai digerakkan oleh tenaga gaib, secara serentak merangsek ke arah kamar. Tetapi kamar tetaplah kamar yang terkunci rapat.
Malam melahirkan kebekuan. Deru kipas angin masih berbutar pada porosnya membentuk gerai-gerai gelombang ketegangan. Orang-orang masih ribut dengan gagasannya masing-masing. Tiba-tiba teriakan terdengar lagi setelah beberapa waktu vakum. Suaminya kehilangan kunci untuk membuka kamarnya. Dua orang yang paling gemuk mencoba mendobrak pintu. Suaranya menggelegar bagai tebakan.
“He, ayo bantu aku! Jangan bengong semua!” teriak salah seorang yang mendobrak pintu.
“He, ayo cepat kita tolong orang ini! Bukankah kita hidup ini wajib tolong-menolong,” teriakan salah seorang yang juga ikut membuka pintu dan jendela.
Dengan iming-iming pahala akhirnya semua orang sangat antuis memberikan upaya-upaya pertolongan. Bahkan, mereka saling berebut. Tak dapat dielakkan lagi daerah sekeliling ruang di mana suaminya terbelenggu itu berdesak-desak, ingin memberikan dermanya dengan pahala. Akhirnya, secara perlahan tapi pasti sekitar ruangan itu menjadilah arena perebutkan. Bagai gerombolan ayam kelaparan mereka saling sikut, saling dorong, saling, tonjok, saling menginjak, saling meniindih, tidak memperdulikan kawan-kawannya. Tanpa disadari keributan meningkat menjadi perkelaian masal. Amat mengerikan. Yang satu memukul yang yalin. Yang lain membacok yang lainnya lagi dan seterusnya.Korban pun berjatuhan. Darah muncrat ke segala arah. Tak ada pahlawan lagi. Semua jadi pengkhianat. Atau semua ingin jadi pahlawan dengan mengkhianati kawannya sendiri.
Malam merajut pekat dengan sepi. Gelombang merapat dengan dining-dinding ruang. Warna suram membentang ke segala pandangan. Suaminya semakin tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak bisa mengintip apa yang di luar. Hanya bisa mendengar kerinutan. Keribautan apa tak tahu. Kenapa ribut, untuk apa ribut tak dapat dipahami lagi asal-usulnya. Di balik kamar jerit dan tangis justru lebih keras mengalahkan segala kekalutan yang dirasa suaminya. Masih adakah harapan menemukan lubang untuk sekedar melihat sinar di luar ruang. Tak ada yang bisa menjawab! Yang nampak hanyalah gelap dan bau amis darah. Pada suatu kesempatan ia mencoba berteriak. Namun, teriakan itu tetap tiggal terikan. Dan pintu ruangan tidak pernah terbuka. Sampai cerita ini usai ia maih berteriak minta tolong.
Deru kipas angin menerpa serpihan malam. Pagi mulai membidik pucuk gunung di ufuk timur. Suara kehidupan alam sesekali membuka pelana kematian. Dan akhirnya sinar pagi menyala. Semua jelas terlihat. Tumpukan mayat-mayat telah menjadi patung peringatan. Monumen Pergerakan Kemerdekaan Republik Para Pengkhianan dan Pengumbar Nafsu.

0 komentar:

Posting Komentar