TEGUH PRAMONO GURU PEMBELAJAR


Sabtu, 20 Februari 2010

ESAI SASTRA

SASTRA ANAK-ANAK SASTRA: APA, SIAPA, UNTUK APA.


Oleh.
Teguh Pramono


Ketika ada seorang anak berlatih membaca puisi di rumah, ungkapan yang muncul dari orang tuanya antara lain ‘kamu teriak-teriak seperti tak punya pekerjaan lain’. Lebih sadis lagi, ketika anak itu menentukan pilihan untuk masuk jurusan Program Bahasa di SMA orang tuanya mencaci maki dengan kata-kata ancaman: tidak akan dibiayai, tidak diberi uang jajan, dipondokkan saja dan lain-lain. Sebuah pertanyaan yang mengindikasikan ketidaktahuan dan keraguan orang tua terhadap ‘pelajaran sastra’ adalah pertanyaan untuk apa belajar sastra. Kalau sastra sudah dapat nilai 9 atau 10 terus apa untungnya. Memang rumit bila pertanyaan-pertanyaan itu harus diawab dengan harapan-harapan masa depan yang bersifat materialistis. Lebih sulit lagi ketika ukuran keberhasilan kompetensi ‘pelajaran sastra’ ditentukan dengan angka-angka.
Kalau begitu apa dan untuk apa sastra itu hingga seorang anak (siswa) perlu memperlajarinya? Apakah sastra anak itu benar-benar perlu diadakan? Kalau perlu siapa dan bagaimana yang seharusnya mengadakannya? Anak-anak sendiri atau orang tua yang pernah mengalami dunia anak-anak yang mengadakan? Persoalan-persoalan inilah yang melandasi tulisan yang akan dikembangkan di bawah ini.

APA SASTRA ITU?

Berbicara masalah sastra anak mau tidak mau kita harus kembali pada konsep dasar yang mempertanyaan apa sastra itu. Banyak batasan-batasan dilontarkan orang tentang hakikat sastra. Rene Wellek (tej. 1988) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Beberapa ciri yang menandai perbedaan sastra dengan bentuk seni yang lain diantaranya adalah: (1) sastra merupakan karya imajinatif, (2) sastra mengandung pikiran, (3) bahasa yang digunakan penuh ambiguitas (haram hukumnya untuk karya ilmiah) dan homonim (sama bunyinya tetapi berbeda maknanya), (4) penuh asosiatif dan konotatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga dinyatakan bahwa sastra merupakan bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari) (Depdiknas, 2003).
Subagio Sastrowardoyo (dalam Supa’at, 2008) mengatakan bahwa puisi adalah filsafat, sedangkan roman, cerpen, dan drama adalah psikologi. Sehingga dapat dikatakan bahwa sastra pada hakikatnya merupakan suatu bidang ilmu yang meneropong permasalah dimensi manusia dan kehidupannya. Lebih jauh, dalam buku ‘Sastra: Eksistensialisme-Mistisisme Religius’ Supa’at (2008) mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil kesadaran kejiwaan masyarakat, sebagai sejarah mentalitas, sebagai cermin masyarakat, dokumen sosial budaya, serta sebagai sistem pemikiran, sistem pengetahuan yang dihadirkan pengarang dalam menangkap, memandang dan memahami sebuah realitas.
Siti Chamamah Soeratno (Jabrohim (ed.), 2001) menyatakan bahwa istilah sastra digunakan untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya tidak merupakan keharusan. Sastra dipahami sebagai satu bentuk kegiatan manusia yang tergolong pada karya seni yang menggunakan bahasa sebagai bahannya. Dengan mengutip pendapat Eco, Chamamah menyatakan bahwa bahasa sastra berfungsi untuk menyampaikan informasi kepada penikmat. Dan, bahasa yang digunakan memiliki ciri unik demi mengotimalkan tersampainya informasi.
Nyoman Kutha Ratna (2003) dengan membandingkan antara sosiologi dan sastra, menyatakan bahwa hakikat sastra adalah subjektivitas dan kreativitas sesuai dengan pandangan masing-masing pengarang. Untuk menjelaskan perbedaan tersebut (sosiologi dan sastra), Nyoman membuat ilustrasi bahaw dua orang sosilog membuat karya tulis untuk sebuah objek masyarakat (tema sama misalnya) hasilnya akan cenderung sama. Tetapi, dua sastrawan disodori satu tema hasilnya akan berdeda. Hal demikian menurut Nyoman disebabkan medium bahasa yang digunakan dalam sastra memiliki kemampuan yang jauh lebih luas dalam mengungkapkan masalah karena sifat figuratif konotatifnya.
Berdasarkan batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa sastra sangat erat hubungannya dengan perkembangan psikologis individual dalam hidupnya di komunitas sosial. Jadi, betul yang dikatakan Subagiyo bahwa sastra sangat erat berkaitan dengan jalan pikiran, perasaan, hasil budi daya yang berbentuk atau menggunakan media bahasa. Yang tentu saja karena kodrat manusia itu adalah makhluk sosial sastra itu merupakan produk yang dilahirkan dan dimanfaatkan untuk masyarakat dimana individu tersebut tinggal.

SIAPA ANAK ITU?

Ketika kita bicara anak maka dalam pikiran kita yang terbayang adalah seorang bocah yang lincah, tidak bisa diam, lompat sana-sini, penuh ceria dan penuh rasa ingin tahu. Ketika kita mendengar kata anak yang terbayang adalah kepolosan dan kejujuran yang tanpa beban mengemukakan isi hatinya, terbuka tanpa tedeng aling-aling. Lebih-lebih, bila dikaitkan dengan norma atau adab aturan masyarakat, anak-anak tidak memahami hal itu. Yang mereka tahu adalah meluapkan keinginan hatinya. Apa yang ingin dikatakan atau diperbuat dilakukanlah oleh mereka. Kemudian tiba-tiba mereka tersentak oleh kata-kata ‘jangan’, ‘itu tidak baik’, ‘itu tidak sopan’, ‘kamu harus belajar jadi orang dewasa’ dll. Anak-anak yang polos penuh energi itu tiba-tiba terdiam.
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa orang dewasa itu mirip dengan ‘pembenar’ atau semacam ‘aturan’ yang harus diikuti oleh anak-anak. Apa yang diucapkan orang dewasa, yang diperbuat oleh orang dewasa harus ditiru oleh anak-anak. Sebuah adagium tentang keberadaan anak di mata orang tua menyatakan anak secara ekonomi adalah investasi, secara psikologis adalah cermin pribadi, secara politis menjalankan perintah dan instruksi-instruksi, secara sosial adalah martabat, dan secara agama merupakan titipan Tuhan. Ada sebuah pernyataan dalam dunia pendidikan bahwa belajar berarti berlatih menjadi orang dewasa. Dalam ilmu psikologi hal demikian dikategorikan pada sebutan behaviorism. Sebuah aliran yang menganggap bayi lahir sebagai kertas putih dan apa-apa yang ada di luar dirinyalah yang akan membentuk karakter pribadinya. Dan, untuk proses pembentukan itu orang dewasa menghegemoni segala arah dan norma yang harus dianut. Secara dominan orang dewasa benar-benar menentukan semua pertanyaan berkaitan dengan apa, mengapa, di mana/ke mana, kapan, siapa, dan bagaimana norma atau nilai yang harus diikuti oleh anak. Dalam kondisi seperti ini anak-anak dijadikan ‘objek’ mati yang terjajah daya nalar dan rasanya.
Menurut pendapat Paulo Freire (terj. 2002) ketertinadasan itu bentuknya bisa bermacam-macam, misalanya tertindas rezim otoriter, tertindas oleh struktur sosial yang tak adil dan diskriminatif, tertindas karena warna kulit, jender, ras, dan sebagainya. Paling tidak ada dua ciri orang tertindas. Pertama, mereka mengalami alienasi dari diri dan lingkungannya. Mereka tidak bisa menjadi subjek otonom, tetapi hanya mampu mengimitasi orang lain. Kedua, mereka mengalami self-depreciation, merasa bodoh, tidak mengetahui apa-apa. Padahal, saat mereka telah berinteraksi dengan dunia dan manusia lain, sebenarnya mereka tidak lagi menjadi bejana kosong atau empty vessel, tetapi telah menjadi makhluk yang mengetahui.
Dunia anak sudah terbentuk sejak anak masih dalam rahim orang tua (mungkin sejak ruh ditiupkan oleh Tuhan). Sebuah dunia ketenangan dan kehangatan dalam rahim itu tiba-tiba terkoyak ketika seorang bayi itu lahir dan memangislah si anak. Sebuah pertanyaan yang jawabannya berupa praduga adalah mengapa ia menangis. Praduga jawaban yang paling logis adalah anak melakukan reaksi keterkejutan karena dunia ‘kedamaian dan kehangatan’ itu tiba-tiba saja dikoyak oleh orang dewasa. Kalau tidak dikoyak atau terkoyak, menurut ilmu kedokteran itu bisa membahayakan keselamatan ibu dan bayinya. Apakah anak itu protes, tidak puas, tidak mau dikeluarkan dari dunia ‘kedamaian dan kehangatan’ itu? Wallahualam. Yang jelas setiap anak di muka bumi ini, ketika lahir, selalu mengeluarkan suara yang oleh orang dewasa disebut ‘tangisan bayi’.
Bila kita kaji lebih jauh sejak tangisan itu lingkungan yang didiami jadi berubah total. Dan, tentu saja lingkungan itu yang akan ikut membentuk perkembangan daya psikisnya. Banyak penelitian yang meyakini bahwa memang lingkunganlah yang mewarnai perkembangan seorang anak sebagaimana opini-opini yang dikemukakan oleh kaum beavioris.
Perkembangan seorang anak tidak bisa dimaknai hanya dari sisi psikisnya, karena salah satu aspek yang mempengaruhi psikis adalah wujud ‘wadag’ dari tempat psikis itu berkembang. Artinya, tahap perkembangan seorang anak selalu dikaitkan dengan umur, perkembangan fisik dan perkembangan biologisnya. Umur ditandai dengan pertumbuhan fisik maupun psikis. Pertumbuhan fisik dan psikis mengindikasikan perkembangan biologis seorang anak. Ketiga aspek perkembangan ini ‘lumrahnya’ atau normalnya terjadi pada setiap bayi di muka bumi ini. Namun, harus tetap diingat bahwa aspek-aspek pertumbuhan itu masing-masing membawa gen yang beda-beda. Misalnya, ada yang berkulit hitam, berambut keriting, bertubuh tinggi, berbulu banyak dll. Bagaimana asal muasalnya ini bisa terjadi wallahu alam. Sungguh sulit kerja polisi bila DNA semua orang itu sama. Atau, sidik jari tidak ada gunanya bila ‘batik’ tangan itu memiliki pola yang sama. Dengan kata lain anak merupakan totalitas kepaduan antara psikis dan bio-fisik yang tidak mengkin dipecah-pecah.
Dalam buku ‘Psikologi Kritis, Metaanalisis Psikologi Modern’ (Dennis dan Isaac, 2005) mengibaratkan perkembangan seorang anak dengan ‘bayi dan bak mandi’. Bayi dianggap sebagai subjek pokok psikologi, sebagai unit perkembangan, individu yang berkembang. Sedangkan bak mandi merupakan lingkungan sosio-kulturalnya, suatu bentangan pilihan yang mengelilingi atau mendukung tetapi tidak mempengaruhi atau membentuknya secara mendasar. Lebih lanjut dinyatakan dalam buku itu bahwa anak tidak hanya dapat berfungsi sebagai dirinya sendiri, tetapi tergambar sebagai simbol dari diri orang dewasa, proyeksi dari harapan-harapan dan kecemasan orang dewasa. Jadi, anak merupakan totalitas sosio-psikobiofisik lahiriah dan batiniah beserta hal-hal yang melingkunginya.

DESEGRASI TEORI SASTRA BAGI ANAK

Teori-teori sastra yang ada memaparkan ketidakpedulian terhadap seorang anak dalam menikmakti pertumbuhan totalitas psiko-biofisiknya. Semua teori hanya didasarkan pada sisi perkembangan psikis dengan mengangkat berbagai nama kebesaran dari kaum behaviorisme dan kelompok nativisme. Formula pendekatan semacam ini hendaknya perlu dilengkapi dengan upaya penyempurnaan. Seorang anak yang hanya digelontor cerita, puisi atau nyanyian akan menjadi anak yang pincang fisiknya. Bahkan, arah pertumbuhan dan perkembangan biologisnya bisa menyimpang. Mungkinkan sastra anak difomulasikan juga untuk pertumbuhan dan perkembangan biofisiknya? Upaya inilah yang sebenarnya perlu diciptakan. Pendek kata sastra anak diarahkan pada keseimbangan perkembangan ‘jiwa dan wadag’.
Hasil penelitian yang pernah dicobakan kepada sapi telah membuka tabir bahwa dengan musik pertumbuhan fisik dan nafsu biologis dapat dipacu dengan alunan musik. Bahkah, seorang bayi dalam kandungan juga dapat dirangsang kecerdasanya (tentu seiring dengan pertumbuhan saraf yang bersifat fisik) melalui alunan musik. Sastra sebagai sebuah genre yang lebih komplit dari musik (sastra lisan mengandung unsur bunyi, sastra tulis mengandung unsur visual) tentu memiliki potensi yang lebih bila dibandingkan dengan musik yang hanya mengandung satu aspek: bunyi. Dengan predikat sebagai ‘penguasa’ dan ‘pembenar’ segala arah perkembangan anak, orang dewasa laki atau perempuan perlu ‘menceraikan’ istri atau suaminya yang tidak bisa melahirkan ‘anak sastra’ berbasis sosio-psikobiofisik. Orang dewasa laki atau perempuan hendaknya mengawini sosok dengan pertimbangan bibit, bobot, dan bebetnya yang dimungkinkan bisa melahirkan dan menghidupi ‘anak sastra’ yang diharapkan menjadi sosok sastra yang memformulakan kepaduan perkembangan psikobiofisik bagi generasi berikutnya.
Berdasarkan paparan di atas secara implisit sudah tergambar bahwa sastra anak itu sebenarnya merupakan sastra orang dewasa yang disajikan sebagai menu pilihan bagi anak. Dan, dengan menu yang diolah sedemikian itu pada akhirnya diharapkan anak memiliki pola pikir, pola rasa, dan pola raga yang sesuai dengan harapan-harapan orang dewasa. Persoalan berkaitan dengan menu itulah sebenarnya yang menjadi otoritas orang dewasa. Dari bahan apa menu itu akan dibuat? Bagaimana cara menyajikan menu itu sehingga menumbuhkan nafsu untuk mengkonsumsinya? Bagaimana adab aturan cara mengkonsumsi menu itu? Seberapa banyak menu itu harus dikonsumsi? Pertanyaan-pertanyaan inilah sebenarnya yang perlu kita kaji berkaitan dengan sastra anak.
Bila kita lihat teori tentang perkembangan anak, dapat kita temukan ciri-ciri anak sebagai berikut: (1) perkembangan kognitif, (2) perkembangan bahasa, (3) perkembangan moral, (4) perkembangan resepsi sastra anak.
Tingkat perkembangan kognitif anak dipilah menjadi 4 tahapan, yakni tahap (1) sensori motor (lahir-2 th), (2) praoperasional (2-7 th), (3) operasional konkret (7-11 th), dan (4) operasi formal (11 th- …). Tahap perkembangan tersebut dapat diringkaskan dalam tabel sebagai berikut.
(1) Tahap sensori motor (lahir-2 th), anak memiliki perbedaharaan pengetahuan yang dibentuk berdasarkan tanggapan inderawi dan gerak tubuh. (2) Praoperasional (2-7 th), anak memiliki perbendaharaan pemahaman melalui pengembangan kemampuan bahasanya berdasarkan tanggapan inderawi yang bersifat konkret. (3) Operasional konkret (7-11 th), anak telah mampu memikirkan kenyataan lewat perbendaharaan bahasanya dengan melakukan pemilahan dan penentuan waktu yang didasarkan pada pengalaman yang bersifat konkret. Dan, (4) operasi formal (11 th- …), anak telah mampu menyusun persepsi secara simbolik, melakukan proses berpikir secara logis, membuat antisipasi kemungkinan benar/salah secara hipotetis, serta menempuh kegiatan berpikir yang bersifat abstrak.
Sementara itu kalau ditinjau dari tingkat perkembangan bahasanya, menurut teori terdapat anak yang (i) hanya dapat menikmati gambar, (ii) memahami cerita berdasarkan gambar, (iii) memahami cerita berdasarkan gambar dan tulisan, (iv) memahami isi ataupun cerita berdasarkan tulisan saja tetapi belum mampu menafsirkan makna tersirat ataupun gagasan yang bersifat abstrak, dan (v) memahami isi ataupun cerita berdasarkan tulisan saja sekaligus sudah mampu memahami makna tersirat mau-pun gagasan yang bersifat abstrak.
Smith dan Goodman, Rubin (1995). sebagaimaba dikutip oleh Joko Sardjono, terdapatnya sejumlah fase perkembangan bahasa anak yang meliputi tahap: (1) Tahap random, yakni anak hanya mampu mengeluarkan bunyi sampai pada kemampuan me-lakukan babling, misalnya bunyi ma-ma-ma; (2) Unitari, anak menggunakan kata tertentu sebagai representasi kalimat, misalnya, makan sebagai representasi kalimat, Saya minta makan; (3) Perluasan, yaitu tahap penggunaan kata-kata Pivot, sebuah kata yang digunakan dalam berbagai relasi kalimat, misalnya Makan roti, Makan apel, Makan sup, dan sebagainya. (4) Struktural, pada tahap ini anak mampu menggunakan bahasa dalam bentuk kalimat sederhana berpola Subyek-Predikat-Obyek (SPO), misalnya Saya minta roti. (5) Tahap otomatik, yakni anak mampu menggunakan dan mengurutkan kalimat secara sitematis sekaligus sudah mampu mengoreksi kesalahan berbahasanya. Anak juga sudah mulai melakukan internalisasi sistem dan kaidah kebahasaan. (6) Tahap kreatif, yakni anak mampu memahami dan menggunakan kata-kata dengan acuan pengertian yang bersifat abstrak. Anak juga telah mampu membuat ungkapan dan melakukan pemilihan kata dan kalimat secara kreatif.
Teori yang disebutkan di atas ini pun masih berkutat pada pengolahan psikis yang dominan. Kenyataan ini semakin mempertegas bahwa orang tua benar-benar menjadi ’penjajah’ yang menutup bebasnya pertumbuhan dan perkembangan sisi biofisik yang seharusnya juga mendapat perhatian lebih. Perlakuan deskriminatif terhadap totalitas pertumbuhan dan perkembangan anak menjadi terligimitasi karena teori-teori besar (banyak penganutnya). Layanan hidup utuh dan seimbang diceraiberaikan dengan teori-teori yang parsial dan elementer.

UNTUK APA SASTRA BAGI ANAK?

Bagaimana mengemansipasi pertumbuhan dan perkembangan anak melalui sastra sehingga tidak ada lagi yang tertindas? Untuk menjawab pertanyaan ini Freire angkat bicara dengan berangkat dari konsep tentang manusia. Baginya, manusia adalah incomplete and unfinished beings. Untuk itulah manusia dituntut untuk selalu berusaha menjadi subyek yang mampu mengubah realitas eksistensialnya. Menjadi subyek atau makhluk yang lebih manusiawi, dalam pandangan Freire, adalah panggilan ontologis (ontological vocation) manusia. Sebaliknya, dehumanisasi adalah distorsi atas panggilan ontologis manusia. Freire yakin bahwa manusia secara fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya.
Dari gagasan Freire ini tersirat bahwa seorang anak perlu diperlakukan sebagaimana manusia secara totalitas, bukan secara elementer yang beku. Eksistensi manusia bukan hanya keberadaannya secara psikis saja tetapi ‘wadag’ juga menentukan keberadaannya dalam kehidupan. Fakta khusus (bisa saja nanti menjadi umum) tinggi badan, bentuk tubuh, wajah, panjang kaki, ukuran pingang, warna kulit, alat kelamin, payu dara sangat menentukan berhasil tidaknya seseorang menikmati ‘kenyamanan dan kedamaian’ hidup di dunia ini.
Dengan demikian, tugas utama pendidikan sastra hendaknya mengantar peserta didik menjadi subyek total lahir dan batin. Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus mengandaikan dua gerakan ganda: meningkatkan kesadaran kritis peserta didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial-psikobiofisik yang menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab, kesadaran harkat dan martabat sosial-psikobiofisik manusia itu berproses secara multialektis (maksudnya arus multiarah dalam radius jangkauan baik secara logis-imajinatif maupun secara kasad inderawi) antara diri subjek dan lingkungan. Ia punya potensi untuk berkembang, mempengaruhi, dan membentuk lingkungan, tetapi ia juga bisa dipengaruhi dan dibentuk oleh struktur sosial-psikobiofisik atau miliu sosial-psikobiofisik tempat ia berkembang. Untuk itulah ‘hegemoni’ dan ‘pembenaran’ sastra anak perlu diarahkan kepada formula emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran dengan melibatkan gerakan ligitimasi sosial-psikobiofisik.
Idealitas sosial-psikobiofisik bisa dicapai jika proses pembelajaran mengandaikan relasi antara guru/dosen dan peserta didik yang bersifat subjek-subjek sosial-psikobiofisik, bukan subjek-objek sosial-psikobiofisik. Guru (orang tua/orang dewasa) sebagai mitra belajar harus terlibat (bersama-sama sosial-psikobiofisik peserta didik) dalam mengkritisi, memproduksi, dan menikmati menu ilmu pengetahuan, menu pelatihan, menu peragaan, dan menu perasaan.
Dengan sastra, anak akan mengalami keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan sebagai manusia utuh yang incomplete and unfinished beings. Sastra tidak hanya dijadikan tenaga penggerak olah pikir dan olah rasa tetapi dapat dijadikan tenaga penggerak oleh raga dan sekaligus oleh raga itu sendiri sehigga secara total akan menjadi penggerak kehidupan sosial-psikobiofisik. Sastra bukan hanya mencekoki anak dengan instruksi verbalistik untuk dominasi dan hegemoni, sebagai medium untuk memproduksi sistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk mereproduksi status quo tetapi juga harus bisa membebaskan deskriminasi perlakuan elementer kemanusian lahir batin. Jika sastra dipahami sebagai aksi sosial-psikobiofisik untuk pembebasan, maka sastra tidak bisa dibatasi fungsinya hanya sebatas area kognisi, afeksi, pasikomotorik tetapi harus diperluas perannya dalam menciptakan kehidupan generasi yang lebih demokratis secara sosial-psikobiofisik sebagaimana pernyataan Freire, "reading a word cannot be separated from reading the world and speaking a word must be related to transforming reality." Sastra harus berkaitkan padu dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, sastra bagi anak merupakan formula bukan saja dialektika tetapi multialektika antara teks sosial-psikobiofisik dan konteks sosial-psikobiofisik, teks sosial-psikobiofisik dan realitas lahir batin yang utuh.

Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya akan membuat seorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
Bila hanya mendorong seseorang
Menjadi layang-layang di ibu kota
Kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
Atau apa saja,
Bila pada akhirnya,
Ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi”
W.S. RENDRA, 12 Juli 1975

0 komentar:

Posting Komentar