TEGUH PRAMONO GURU PEMBELAJAR


Sabtu, 27 Februari 2010

TENTANG PUISI

TIRANI DAN BENTENG SUATU POTRET KENYATAAN SEJARAH (SEBUAH TINJAUAN SUBYEKTIF PUISI TAUFIK ISMAIL)
Oleh : Teguh Pramono

Terus ada dalam kata, semua dalam kata
Tersimpan kenyataan ragam segala:
Kerasnya kemarau di Bukit Biru, Bukit Kelu,
Dengus nyawa seorang adik oleh senapan kakak sendiri,
Berjuta rakyat dengan tangan tengadah ke langit,
Brutalnya politik, revolusi, dan penyelewengan negara,
Bara dan beku perjalanan sejarah 64-66 yang pengap,
Sampai jenderal dan demonstran jadi tumbal,
Terus ada dalam kata
Semua dalam kata
Abadi adanya dalam kata

Kata merupakan media untuk menyatakan kenyataan pikiran, perasaan, dan kehendak. Hanya dengan kata-kata kenyataan yang tersirat dalam benak dapat dipahami dengan jelas. Sebagai media, kata sangat lentuk dalam beradaptasi dengan penggunanya. Ia dapat dieksplorasi-kreatif menjadi apa saja. Menjadi tirani, benteng, bentangan kenyataan, atau rangkaian imajinasi sekalipun. Salah satu wujud eksplorasi-kreatif kata dapat kita temui dalam bentuk-bentuk sastra, diantaranya berupa puisi.

Satu Puisi = Satu Kenyataan
Puisi bukanlah sekedar hasil imajinasi, angan-angan yang tiada arti. Berdasarkan pengalamannya sebagai pengarang, Danarto mengatakan bahwa karya sastra merupakan hubungan interaktif dan kritis apresiatif antara lingkungan (ruang dan waktu) dengan diri pengarang. Sehingga ketika ia di ruang tamu misalnya, ia merasa menjadi bagian dari ruang tamu itu. Ketika berada di sawah, ia merasa begitu juga. Pendek kata sastra dianggapnya sebagai alat menerima dan memberikan kecerahan.
Dalam proses interaktif- kritis apresiatif dengan lingkungan, Danarto dapat menjalin hubungan, berdialog, dan mengekspresikan apa yang diperolehnya dalam proses itu sehingga ia merasa aman, tenteram, atau dengan istilah Danarto ‘cerah’ (tidak ditolak oleh lingkuangan dan bisa menjadi bagian dari lingkungannya).
Senada dengan itu, Tarigan (1993) menyatakan bahwa sastra dan pemahaman terhadapnya bukan saja memberikan kesempatan kepada kita menikmatinya dalam beberapa jam, menghindarkan diri dari kerumitan hidup, tetapi juga memberikan kepada kita pengalaman hidup dalam pengertian yang sebenar-benarnya.
Memandang pernyataan di atas, kita dapat mengerti bahwa berpuisi bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Bukan pula perkerjaan yang tiada arti, membuang-buang waktu, berkhayal-khayal cengeng yang meracuni jiwa. Boleh jadi berpuisi termasuk ibadah wajib yang harus dilakukan setiap orang agar bisa menjadi khalifah bumi dengan baik. Ingat wahyu-wahyu Allah pun sangat puitis.
Berpuisi juga memberi berbagai kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan banyak hal tentang hidup dan kehidupan. Kita dapat memetik hikmah dari sifat, perbuatan, pendangan hidup, dan pengalaman orang lain yang diimplementasi melalui puisi. Pendek kata dengan berpuisi kita dapat memperoleh pelajaran tentang nilai-nilai luhur, nilai-nilai budi pekerti, nilai keagamaan, nilai moral, nilai sosial budaya, yang sangat bermanfaat untuk hidup bermasyarakat (ber-hablum minannas), kehidupan berketuhanan (hablum minallah), dan ber-hablum min makhluk lain. Hal ini dapat dimaklumi karena puisi itu merupakan hasil dari meniru alam (imitation of natural). Artinya, puisi diciptakan berdasarkan bahan-bahan yang ditemui, diserap, dan direnunginterpretasikan untuk dituangkan dalam bentuk eksploratif-kreatif kata-kata.
Yakob Sumardjo (1982) menyatakan,” Pengarang adalah pencipta, dan untuk itu, ia perlu bahan. Dan bahan itu terkumpul dalam buku-buku, baik buku pelajaran, ilmu agama, psikologi, filsafat, kebudayaan, kesenian, sosiologi, maupun buku-buku lainnya.”
Persoalannya mengapa buku? Buku merupakan hasil dari kajian ilmiah yang data-datanya sangat objektif. Artinya kadar ‘kenyataannya’ dapat dipertanggungjawabkan. Buku juga merupakan hasil reduksi dari hidup dan kehidupan, baik yang bersifat kontemplatif-imajinatif, interpretasi subjektif, potret objektif, ataupun yang bersifat deskriptif-observatif. Boleh dikatakan sastra merupakan foto kenyataan (realitas objektif) yang dijepret dengan kamera indera cipta, rasa, dan karsa, kemudian diproses di studio kontemplatisi-imajinatif.
Mursal Esten (1987) juga menegaskan bahwa sebuah cipta sastra bersumber dari kenyataan-kenyatan yang hidup dalam masyarakat (realitas-objektif). Akan tetapi cipta sastra bukanlah hanya pengungkapan realitas objektif itu saja. Di dalamnya diungkapkan pula nilai-nilai yang lebih tingi dan lebih agung dari sekedar realitas objektif itu. Cipta sastra bukanlah semata-mata tiruan dari alam (imitation of nature) atau tiruan dari hidup (imitation of life), akan tetapi ia merupakan panfsiran-penafsiran tentang alam dan kehidupan itu (Interpretation of life).
Berhubungan dengan sastra sebagai adopsi kreatif dari sebuah kenyataan, ada orang yang mengatakan bahwa sastra lebih dari sekedar sejarah. Sastra memotret totalitas peristiwa, di dalamnya terkandung potensi kodrati manusia, yang terdiri dari cerminan rasa, karsa, daya nalar (logika), dan nurani naluriah kemanusiaan. Berbeda dengan sejarah, yang memotret peristiwa hanya sebatas pengetahuan karena hanya sebagai konsumsi kognisi dan seringkali dipolitisir demi kepentingan penguasa tertentu. Akibatnya, sejarah tidak mampu menjangkau unsur rasa, karsa, dan nurani manusia secara universal.
Kita mengetahui bahwa Indonesia pernah dijajah oleh bangsa Jepang yang sangat kejam. Tetapi, kita tidak akan pernah bisa membayangkan apa sebenarnya yang dirasakan, diderita oleh gadis-gadis Indonesia yang dipaksa jadi pelayan nafsu tentara-tentara Jepang, kalau hanya membaca sejarah. Bahkan, kalau hanya membaca sejarah, kita tidak akan pernah terlibat secara emotif apeknya makan katul, hambarnya bongkot pohon pisang, atau gatalnya sengatan kutu-kutu yang bersarang di celana goni. Juga, rasa takut yang sangat karena mendengar deru pesawat terbang yang siap menjatuhkan bom, dan pengapnya lubang persembunyian di lubang-lubang dalam tanah. Semua itu bisa didapat lewat menikmati sastra. Sastra memang kenyataan lahir batin yang lebih jujur karena mengungkapkan hal-hal yang pernah dialami, dibau, dirasakan, dipikirkan, didengarkan, dikecap, diraba, dan dilihat. Hanya dengan sastra kejujuran sejarah lahir batin dapat ditemukan karena sastra adalah kekujuran itu sendiri.

Kenyataan dalam Tirani dan Benteng
Sebagai sosok kenyataan sejarah, ‘Tirani dan Benteng’ menunjukkan bahwa penulisnya adalah orang yang cermat dalam mengamati, teliti dan rajin membuat dokumentasi, dan yang lebih penting lagi ia obyektif dalam memandang peristiwa yang dipotretnya. Secara total, ia terlibat langsung dengan peristiwa yang terjadi, saksi dan sekaligus pelaku sejarah. Bahkan bisa dikatakan ia adalah sejarah itu sendiri. Hal ini dapat dimengerti karena paling tidak ada tiga hal yang dapat dijadikan pertimbangan, yaitu:
1). Isi kata pengantar yang mengisahkan kronologis latar proses penciptaannya.
2). Penataan keruntutan tematis yang menjalin sebuah alur pergerakan peristiwa sejarah sekitar pergolakan politik tahun 66.
3). Pemasangan foto-foto dokumenter yang sangat berperan mempertegas dan memperjelas kenyataan sejarah.

Dalam ‘Tirani dan Benteng’ dengan jelas ditemukan formula ‘satu puisi = satu kenyataan’. Kegelisahan karena gagal panen tersirat dalam judul ‘Bukit Biru, Bukit Kelu’ , Syair Orang Lapar’ . Harapan untuk bebas dari penderitaan hidup, bebas dari rasa takut, dan bebas menyampaikan pendapat yang selama ini hanya indah di angan-angan tersirat dalam judul 'El‘gi Buat Sebuah Perang Saudara', ‘Bilakah Kau Akan Melintas Di Depanku’. Tekad berjuang untuk hidup mencari ilmu, pulang balik Pekalongan-Jakarta, di atas ketulusan dan kesederhadaan orang tua, yang sebagai guru berkat hasil pertanian: wortel, kentang, ikan kolam, bawang di desa ( Potret Di Beranda). Namun,, harapan untuk hidup bebas dari penderitaan masih terhadang oleh gejolak politik, perang saudara ( dalam Pekalongan Lima Sore, Jam Kota, Alamat Tak Kenal). Lebih parah lagi adanya peruncingan pertentangan ideologi yang mengarah ke fitnah, saling menyerang, saling memojokkan, mencurigai teman sendiri dan tidak terbina persatuan (dalam Percakapan Dengan Zaini, Dalam Gerimis). Sebagai tumpuan akhir adalah universitas (Republik Berpikir Bebas). Universitaslah yang masih memberi kesempatan untuk bebes membuka telinga, membuka mata, dan membuka pikiran (dalam Alma Mater, Aku Belum Bisa Menyebutmu Lagi, Jun Takami, Berkatalah Dengan Jelas, ‘Kota,Pelabuhan, Ladang, Angin, dan Langit’, Surat Ricarda Huch 9 April 1933, Surat Ricarda Huch 4 Nopember 1941).
Kebimbangan akan ketidakpastian berlanjut terus sampai tahun 1965. Dengan ‘Pidato Ricarda Huch Di Depan Konggres Pengarang Jerman, Seusai Perang Dunia’, Taufik Ismail menyapaikan,” /Saya sering ragu-ragu dan/, / Bertanya-tanya . Pada bangsa saya/, /Sekian banyak yang latah dan menjilat/, / Sekian banyak sia-sia tersungkur ke bumi/. Bahkan, keragu-raguan itu menumbuhkan kecurigaan yang menghuni hati setiap orang. /Siapa dirimu?/, / Garis lurus khayali diujungnya sebutir/, /Logam/, /Siapakah diriku?/. Sesama tentara yang konon sebgai pelindung bangsa lebih gawat lagi. Antara baret warna satu dengan baret warna yang lain saling lirik-lirikan, diam-diaman, menyimpan dendam, menunggu kesempatan untuk bisa menikam. /… dengan rambutmu merah-ungu/, /Taburkan pelan, pelangi. Sepanjang lengkung lenganmu/, /Tiada terasa lagi di mana suara memanggil-manggil/, /Tiada suara lagi betapa cahaya makin menggigil/. Akhirnya, tidak bisa ditawar-tawar kegawatan ini harus dicairkan. Krans demokrasi yang tersumbat sebagai sumber segala masalah harus segera digelontokan walau masih dalam iklim seperti /… kerja Sisyphus/, /Menyusun gunung batu/. Bel tanda dimulainya pergerakan walau /Berkelining sepi/ di sela-sela /Andong-Andong Margomulyo/, /Keletak kuda…/, / Kota tua Yogya yang sepi/, telah berbunyi. /Cinta pada Kebebasan/, yang terlarang /Kemerdekaan yang masih tertahan/ harus segera dibongkar karena /Impian kemerdekaan/, terus /… membayang/, /Malam dan siang/.
Hal yang aneh dan tak masuk akal adalah menohok kawan sendiri dengan berbagai fitnah keji, buku dibakar, inflasi yang setiap menit melambung tinggi, /Umat dibunuhi di desa/, /Kus Bersaudara dipenjara/,/ Matine Guti Allah dipentaskan/. Keadaan ini semakin menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa. Dan mencapai puncak krisis pada “Oktober Hitam’ . Jendral-jendral putra terbaik bangsa diculik dan dibunuh secara sadis, termasuk diantaranya seorang gadis polos yang tak berdosa mati tersungkur bersimbah darah di depan bapaknya oleh pelor pengkhianat. Suasana duka yang hitam pekat menyelimuti seluruh negeri. Tumbal permainan poltik ini telah membangkitkan kemarahan seluruh demonstran. Gejolak demonstrasi menggejala di mana-mana, demo mendobrak tirani.
Tirani telah memporak-porandakan seluruh jaringan negeri. Syaraf-syaraf negeri dilumpuhkan dengan pemasungan kebeasan, pemaksaan kehendak, penyelewengan ideologi, dan penghancuran nilai-nilai kemanusiaan yang illahiyah. Keadaan ini harus didobrak, dibongkar, direformasi dengan kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak sebuah malapetaka akan menimpa negeri tercinta, yang kemerdekaannya sudah diproklamirkan dengan korban beribu nyawa dan berjuta harta.
Penindasan tirani yang berpasukan alat negara bersenjata tersebut tergambar dalam judul ‘Sebuah Jaket Berlumur Darah’, ‘Merdeka Utara’, ‘Harmoni’. Aksi ‘tirani’ itu sampai tega membunuhi ‘anak-anak sendiri’. /Di sinilah penembakan/, / Ditembakkan ke punggung/, /Anak-anaknya sendiri/. Suasana duka nestapa menyelimuti bumi pertiwi lagi. Anak sendiri ditembak olehbapaknya. Keberanian membela kebenaran oleh kaum muda diuji dengan gugurna beberapa kawan.
Suasana negeri semakin menggawat. Para tiran berupaya menghibur dengan mengadakan sidang di Bogor sampai dihadang-hadang dengan pengempesan ban-ban mobil di jalanan, tapi mereka lolos dengan helikopter. Hasilnya hanya pidato, slogan-slogan kosong. Tidak memuaskan tuntutan. Perjuangan amar ma’ruf nahi mungkar semakin mengusung seluruh lapisan masyarakat. /Berjalan terus/, /Karena berhenti atau mundur/, /Berarti hancur/, ‘Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini’. /Tidak ada lagi pilihan lain/, / Kita harus /, /Berjalan terus/. Tirani tidak boleh tumbuh di bumi Indonesia.
Untuk menyerang tirani sebuah benteng diperlukan. Satu-satunya tempat yang memberikan harapan adalah ‘kampus’. Kampuslah yang memberikan kesempatan untuk menggerakkan massa menuntut ‘kebebasan’. “Universitas adalah Rebublik Berpikir Bebas”, begitu bunyi ucapan Bung Hatta yang dikutip Taufik Ismail.
Kampus menjadi mercusuar, sumber pemancar gelombang kebebasan, markas, dan sekaligus benteng bagi ‘pasukan tak berjenderal’ pembela kebenaran. Kenyataan ini tersirat dalam judul-judul ‘Benteng’. /Sehabis tembakan-tembakan yang tak bisa kita balas/, /Dan kita kembali ke kampus ini berlindung/, /Bersandar dan berbaring, ada yang merenung/ (dalam Benteng). Memang meletihkan, tapi untuk mencapai tujuan, negeri ini /…membutuhkan waktu yang tepat/ 9dalam 06:30). Bayang-bayang hitam (Silhuet) yang menghantui dan mengancam, menakutkan dan meletihkan, membuat penderitaan yang amat sangat. Sampai-sampai rasa duka pun terlarang. Mengekspresikan rasa ‘belasungkawa’ pun tercekam rasa takut. Ini dapat terlihat dari judul ‘Bendera’ : /Mereka yang berpakaian hitam/, /Dan masuk dengan paksa/, / Telah menurunkan bendera itu/, /… meninggalkan rumah itu/, /Kemudian ibu tua itu/, /Pelahan menaikkan kembali/, /Bendera yang duka/, /Ke tiang yang duka/.
Demonstrasi menuntut ‘kebebasan’ bukan saja dilakukan mahasiswa (KAMI), tetapi juga oleh pemuda-pelajar (KAPPI), dan bahkan ‘direstui’ oleh orang tua mereka. Fakta ini tersirat dalam judul ‘Nasihat-Nasihat Kecil Orang Tua Pada Anaknya Berangkat Dewasa’, ‘Persetujuan’, ‘La Strada, Atau Jalan Terpanggang Ini’, ‘Dari Ibu Seorang Demonstran’, ‘Yell’, ‘Oda Bagi Seorang Supir Truk’.
Gugurnya beberapa kawannya, bukannya membuat surut gerakan KAMI dan KAPPI, tetapi jsutru semakin mendongkrak dan mempertebal keyakinan mereka akan perjuangan yang dilakukan. /Kami tidak bisa dibubarkan/, /Apalagi dicoba dihalaukan/, /Karena Arif telah gugur/ (dalam ‘Horison’). Bahkan demo semakain menggila, /Kini kami beratu-ribu/, /Menggiring sejarah/ (dalam Rendes-Vous). Kenyataan ini oleh penguasa dihadapi dengan pelor panas dan gas air mata. Kantung-kantung demonstran dijaga ketat, dipagar betis, dan dijaring dengan kawat-kawat berduri. Namun, semua itu tiada arti bagi pasukan tak berjenderal, kafilah jihad amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka sudah bertekad bulat tidak akan berhenti kalau semua kedok kekhianatan dan kebatilan penguasa belum turun dari ‘mahligai kebesaran dengan kereta-kereta kencana yang ternoda’ (dalam ‘Kata Itu, Suara Itu’, ‘Malam Sabtu’, Kamis Pagi’, Memang Selalu Demikian, Hadi’ ,’Pengkhianatan Itu Terjadi Pada Tanggal 9 Maret).
Pembunuhan beberapa jenderal, seorang ajudan, dan beberapa ‘anak sendiri’ semakin mempertegas bahwa kebiadapan yang dilakukan para tiran tidak bisa ditolerir lagi. Akhirnya dengan tegas diproklamirkan suatu laskar jihad untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang telah dinjak-injak. Laskar-laskar jihad yang lain pun bermunculan. Mereka tergabung dalam tentara rakyat yang terdiri dari unsur mahasiswa, pemuda- pelajar, ulama, dan masyarakat, bergerak melucuti kebatilan. Hasilnya, /Anak-anak belasan tahun berlarian riang/, /Di atas runtuhan slogan, menginjak potret-potret pemujaan/, /Yang khianat dan kini dipisahkan dari pimpinannya/, /Sesekali dia meraung pendek. Meratapi langitnya makin senja/. Dan, semua gambaran di atas itu, menjadi kenyataan sejarah yang pahit. Pahit karena /Tanah dijarah, bumi dijajah/, /Sekian kali, sekian lama, oleh sekian orang/, /Orang asing dan beberapa pribumi/.


Foto-Foto Dokumenter Mempertegas Kenyataan Sejarah.
Suatu keistimewaan yang tidak dapat dipungkiri bahwa sebuah karya sastra dilengkapi dengan foto-foto dokumenter. Foto-foto inilah yang mempertegas '‘satu puisi = satu kenyataan”. Taufik Ismail ingin menyampaikan bahwa apa yang ditulisnya dalam puisi ‘Tirani dan Benteng’ memang nyata adanya, benar-benar terjadi di bumi Indonesia. Hal ini bisa dipahami karena Taufik pernah menjadi wartawan. Dan, dalam kata pengantarnya, ia menyampaikan, “Visualisasi demonstrasi 66 dan puisi saya saling memperkaya. Foto itu tidak harus menerang-jelaskan puisi di sebelahnya, dan puisi itu bukanlah pula berugas sebagai teks gambar tersebut. Masing-masing berdiri sendiri, tapi tolong dengarkan mereka bercakap beraust-sahutan…”
Dengan demikian tidak berlebihan kija dikatakan ‘Tirani dan Benteng’ = kenyatan sejarah yang lebih lengkap. Artinya, ia bukan sekedar sejarah yang menuturkan pengetahuan sejarah, tetapi juga menuturkan apa yang pernah ada dalam otak, dalam hati, dan dalam peristiwa perbuatan tingkah laku di suatu negeri. Pendek kata ‘Tirani dan Benteng’ adalah potret 3 H (head, heart, dan hand) suatu masyarakat Indonesia pada masa sekitar pergolakan politik tahun enam puluhan.

Akhirnya semua dalam kata
Abadi dalam kata:
Pelangi-Mu, nafas-Mu, hamparan makhluk-Mu,
perjalanan bayangan-Mu

Semua dalam kata
Abadi-Mu, abadi dalam kata



Malang, 5 Agustus 2002

0 komentar:

Posting Komentar